Cuma 5
“Yang penting
kualitas, bukan kuantitas”.
Jaman kuliah dulu gue sering banget excuse begitu. Biasanya
terjadi kalau gue udah mentok ngetik paper. Lagi begadang nih, otak udah nggak
karuan mau nulis apa, badan juga pegal-pegal. Alhasil tugas jadi seadanya. Tapi
demi menyenangkan diri sendiri, gue berkata, “nggak apa-apa. Segini udah bagus kok. You’ve done well, girl”. Scroll ke atas, balik
scroll ke bawah, terus meyakinkan kalau panjang paper tidak menentukan kualitas
konten.
Then now, semakin hari gue semakin sering dengar orang
ngomong begitu. Mereka mengedepankan kualitas nomor satu. Nggak masalah
jumlahnya sedikit, yang penting dari sedikit itu bisa bermutu, memberikan
dampak positif, and so on semua hal yang berkaitan dengan kualitas. Sayangnya,
nggak sedikit dari mereka juga yang ngomong kalau “kualitas nomor satu dibandingkan kuantitas” adalah orang-orang yang
terjebak dalam keadaan tidak mampu meningkatkan kuantitas maupun kualitas. Dari
sini gue belajar, sebenarnya apa sih arti mutu? Apa bener kita nggak bisa
meningkatkan mutu sambil menambah jumlah?
Kuantitas
Di sekolah tempat gue ngajar sekarang memiliki murid sekitar
20 orang. Di dalamnya dipecah ke 6 kelas dan 1 kelas terapi. Gue dipercayakan
untuk memegang 5 anak yang dipisah jadi 2 kelas. 1 kelas terdiri dari 4 anak (1
mengalami masalah sosial, 1 hard of hearing dan kesulitan belajar, 1
keterlambatan bicara dan kesulitan belajar, 1 trauma sekolah-kesulitan
belajar-masalah motorik halus dan kasar), sedangkan 1 kelas lainnya terdiri
dari 1 anak autis.
Awalnya gue mikir ini adalah pekerjaan yang mudah. Jumlah
murid yang harus gue ajar sedikit. Kalau dibandingkan saat gue ngajar di SLB
dulu, jumlah anak yang gue pegang lebih banyak. Di pagi hari gue ngajar 6 siswa
tuli SMP, sedangkan siangnya 5 siswa tuli SMA. So far we were doing good there.
Nah, pada saat gue hanya dikasih 3 anak (anak yang mengalami masalah sosial,
hard of hearing, dan autis), I just thought that I could do better than before.
Sebulan berjalan memang benar adanya, gue bisa menghandle mereka dengan baik
dan sesuai harapan. Dari situ akhirnya gue bilang ke kepala sekolahnya, “kelas saya masih kosong, kalau ada murid
baru bisa dimasukin ke kelas saya”.
Sejak saat itu mulai lah masuk beberapa murid baru. Gue
turut menyeleksi mana anak yang bisa gue pegang dan disatukan dengan 3 anak
sebelumnya. Finally kelas gue ditambahkan 2 anak, si manis yang trauma sekolah
dan si aktif tapi nggak mau bicara sama sekali. Gue sangat senang dan
bersemangat. Gue merasa mendapatkan tanggung jawab dan kepercayaan baru. Gue
berpikir semakin banyak anak yang diberikan ke gue, maka sekolah semakin
percaya pada gue.
Hari-hari yang kami berlima lalui begitu seru. Seru dalam
arti sebenarnya ya! Bisa kalian bayangkan 5 anak berkebutuhan berbeda disatukan
dalam satu ruangan? Chaos! Yes! Si cantik hard of hearing terus meminta
perhatian gue. Si anak yang punya masalah sosial belajar seenaknya. Si trauma
sekolah kayak patung, kalau nggak dicolek nggak bergerak. Si autis nggak mau
diem mulutnya, ada aja yang dinyanyiin. Si manis yang nggak mau ngomong udah
kayak bola, mental ke sana-sini tanpa sedikit pun mau mengeluarkan suara. Tapi
karena memang gue yang meminta tanggung jawab baru, I must go for it. Otak gue
switch ke lima jenis mode berbeda dalam satu waktu. Setiap hari terus begitu,
hingga hari pembagian rapor gue menyadari bahwa cukup sudah. Gue nggak perlu
menambah satu tangan lagi untuk menghitung jumlah anak didik.
Kualitas
Rapor sekolah kami pada dasarnya tidak berbeda dengan rapor
sekolah umum. Di dalamnya ada 3 aspek pendidikan: kognitif, afektif, dan
psikomotor. Hanya saja ketiganya dikemas berbeda, oleh sebab itu penilaian
dibedakan menjadi 6 aspek, which are “pembiasaan sikap dan sehari-hari”,
“kemampuan motorik halus dan kasar”, “manajemen emosi”, “kecerdasan”,
“kemampuan sosial”, dan “ekspresi diri”.
Apakah ini karena rapornya anak-anak berkebutuhan khusus?
No!
Buat gue, keenam aspek ini memang sudah sepatutnya dinilai
dari diri anak di sekolah umum juga. Kenapa? Karena dengan begitu kita bisa
benar-benar tau “bagian” mana dalam diri anak yang harus dilatih, mana yang
harus dipertahankan, dan mana yang harus dikurangi. Gue sempat menggerutu,
kenapa saat gue sekolah dulu nggak dapat rapor begini. Tapi gue sadar, mana
mungkin guru gue dulu nulis rapor begini. Ya kali selang waktu dari ujian akhir
ke pembagian rapor cuma seminggu dan mereka harus nulis rapor begini untuk 40
anak? Jangankan untuk 40 anak, gue aja yang nulis untuk 5 anak keseret-seret
waktu ngerjainnya.
Nulis rapor ini nggak cuma sekedar ngasih skala
perkembangan, tapi gue harus mendeskripsikan perkembangan itu. Setelah semua
rapor selesai gue menyadari bahwa 5 itu ternyata banyak. 5 menjadi banyak
ketika gue paham kalau tujuan mereka dipercayakan ke gue untuk menjadi manusia
yang lebih baik. Bukan cuma pinter otak, tapi jiwanya beradab. Bukan cuma bisa
jawab soal, tapi tahu manfaatnya belajar sesuatu untuk kehidupan mereka. Secara
singkat, kualitas diri mereka meningkat.
Inilah sebenarnya tantangan gue, bukan dari seberapa banyak
anak yang mampu gue ajar. Gue mungkin mampu menerima 5 anak baru lagi di kelas.
Tapi pertanyaannya, apakah gue mampu menyentuh dasar hidup mereka lewat materi
yang gue berikan? Gue juga bisa-bisa aja mendesain dua mata pelajaran dalam
satu hari, misalnya berhitung dan ilmu alam. Tapi apakah gue mampu secara
maksimal menyadarkan mereka bahwa apa yang dipelajari ini nggak berhenti di
buku rapor?
Sekarang gue paham, jumlah memang menentukan seberapa jauh
gue bisa dipercaya. Tapi sebenarnya esensi dari kemampuan gue sendiri dinilai
dari seberapa besar kualitas yang dihasilkan dari jumlah yang dipercayakan ke
gue.
Pembelajaran ini gue dapatkan saat gue bisa bertatap muka
dengan semua orangtua mereka. Rasa haru menyelusup ketika semua orangtua
berkata bahwa ada perubahan dalam diri mereka.
Apakah mereka menjadi pintar berhitung?
Kalau ukurannya bisa menyelesaikan tugas pengurangan dan
penjumlahan di buku, maka jawabannya tidak. Tapi mereka mampu memahami berapa
jumlah sesuatu yang dibutuhkan untuk setiap aktivitas mereka. Bukan kah itu
esensi kita mempelajari matematika?
Apakah mereka menjadi pintar membaca?
Kalau ukurannya mampu menyelesaikan soal cerita dan
mengarang, maka jawabannya tidak. Tapi mereka setidaknya mampu mengekspresikan
diri dan perasaan lewat tulisan dan lisan. Bukan kan itu esensi kita
mempelajari bahasa?
0 comments: