Cuma 5

5:33 PM Tameila 0 Comments

Yang penting kualitas, bukan kuantitas”.

Jaman kuliah dulu gue sering banget excuse begitu. Biasanya terjadi kalau gue udah mentok ngetik paper. Lagi begadang nih, otak udah nggak karuan mau nulis apa, badan juga pegal-pegal. Alhasil tugas jadi seadanya. Tapi demi menyenangkan diri sendiri, gue berkata, “nggak apa-apa. Segini udah bagus kok. You’ve  done well, girl”. Scroll ke atas, balik scroll ke bawah, terus meyakinkan kalau panjang paper tidak menentukan kualitas konten.

Then now, semakin hari gue semakin sering dengar orang ngomong begitu. Mereka mengedepankan kualitas nomor satu. Nggak masalah jumlahnya sedikit, yang penting dari sedikit itu bisa bermutu, memberikan dampak positif, and so on semua hal yang berkaitan dengan kualitas. Sayangnya, nggak sedikit dari mereka juga yang ngomong kalau “kualitas nomor satu dibandingkan kuantitas” adalah orang-orang yang terjebak dalam keadaan tidak mampu meningkatkan kuantitas maupun kualitas. Dari sini gue belajar, sebenarnya apa sih arti mutu? Apa bener kita nggak bisa meningkatkan mutu sambil menambah jumlah?

Kuantitas

Di sekolah tempat gue ngajar sekarang memiliki murid sekitar 20 orang. Di dalamnya dipecah ke 6 kelas dan 1 kelas terapi. Gue dipercayakan untuk memegang 5 anak yang dipisah jadi 2 kelas. 1 kelas terdiri dari 4 anak (1 mengalami masalah sosial, 1 hard of hearing dan kesulitan belajar, 1 keterlambatan bicara dan kesulitan belajar, 1 trauma sekolah-kesulitan belajar-masalah motorik halus dan kasar), sedangkan 1 kelas lainnya terdiri dari 1 anak autis.

Awalnya gue mikir ini adalah pekerjaan yang mudah. Jumlah murid yang harus gue ajar sedikit. Kalau dibandingkan saat gue ngajar di SLB dulu, jumlah anak yang gue pegang lebih banyak. Di pagi hari gue ngajar 6 siswa tuli SMP, sedangkan siangnya 5 siswa tuli SMA. So far we were doing good there. Nah, pada saat gue hanya dikasih 3 anak (anak yang mengalami masalah sosial, hard of hearing, dan autis), I just thought that I could do better than before. Sebulan berjalan memang benar adanya, gue bisa menghandle mereka dengan baik dan sesuai harapan. Dari situ akhirnya gue bilang ke kepala sekolahnya, “kelas saya masih kosong, kalau ada murid baru bisa dimasukin ke kelas saya”.

Sejak saat itu mulai lah masuk beberapa murid baru. Gue turut menyeleksi mana anak yang bisa gue pegang dan disatukan dengan 3 anak sebelumnya. Finally kelas gue ditambahkan 2 anak, si manis yang trauma sekolah dan si aktif tapi nggak mau bicara sama sekali. Gue sangat senang dan bersemangat. Gue merasa mendapatkan tanggung jawab dan kepercayaan baru. Gue berpikir semakin banyak anak yang diberikan ke gue, maka sekolah semakin percaya pada gue.

Hari-hari yang kami berlima lalui begitu seru. Seru dalam arti sebenarnya ya! Bisa kalian bayangkan 5 anak berkebutuhan berbeda disatukan dalam satu ruangan? Chaos! Yes! Si cantik hard of hearing terus meminta perhatian gue. Si anak yang punya masalah sosial belajar seenaknya. Si trauma sekolah kayak patung, kalau nggak dicolek nggak bergerak. Si autis nggak mau diem mulutnya, ada aja yang dinyanyiin. Si manis yang nggak mau ngomong udah kayak bola, mental ke sana-sini tanpa sedikit pun mau mengeluarkan suara. Tapi karena memang gue yang meminta tanggung jawab baru, I must go for it. Otak gue switch ke lima jenis mode berbeda dalam satu waktu. Setiap hari terus begitu, hingga hari pembagian rapor gue menyadari bahwa cukup sudah. Gue nggak perlu menambah satu tangan lagi untuk menghitung jumlah anak didik.

Kualitas

Rapor sekolah kami pada dasarnya tidak berbeda dengan rapor sekolah umum. Di dalamnya ada 3 aspek pendidikan: kognitif, afektif, dan psikomotor. Hanya saja ketiganya dikemas berbeda, oleh sebab itu penilaian dibedakan menjadi 6 aspek, which are “pembiasaan sikap dan sehari-hari”, “kemampuan motorik halus dan kasar”, “manajemen emosi”, “kecerdasan”, “kemampuan sosial”, dan “ekspresi diri”.

Apakah ini karena rapornya anak-anak berkebutuhan khusus?
No!

Buat gue, keenam aspek ini memang sudah sepatutnya dinilai dari diri anak di sekolah umum juga. Kenapa? Karena dengan begitu kita bisa benar-benar tau “bagian” mana dalam diri anak yang harus dilatih, mana yang harus dipertahankan, dan mana yang harus dikurangi. Gue sempat menggerutu, kenapa saat gue sekolah dulu nggak dapat rapor begini. Tapi gue sadar, mana mungkin guru gue dulu nulis rapor begini. Ya kali selang waktu dari ujian akhir ke pembagian rapor cuma seminggu dan mereka harus nulis rapor begini untuk 40 anak? Jangankan untuk 40 anak, gue aja yang nulis untuk 5 anak keseret-seret waktu ngerjainnya.

Nulis rapor ini nggak cuma sekedar ngasih skala perkembangan, tapi gue harus mendeskripsikan perkembangan itu. Setelah semua rapor selesai gue menyadari bahwa 5 itu ternyata banyak. 5 menjadi banyak ketika gue paham kalau tujuan mereka dipercayakan ke gue untuk menjadi manusia yang lebih baik. Bukan cuma pinter otak, tapi jiwanya beradab. Bukan cuma bisa jawab soal, tapi tahu manfaatnya belajar sesuatu untuk kehidupan mereka. Secara singkat, kualitas diri mereka meningkat.

Inilah sebenarnya tantangan gue, bukan dari seberapa banyak anak yang mampu gue ajar. Gue mungkin mampu menerima 5 anak baru lagi di kelas. Tapi pertanyaannya, apakah gue mampu menyentuh dasar hidup mereka lewat materi yang gue berikan? Gue juga bisa-bisa aja mendesain dua mata pelajaran dalam satu hari, misalnya berhitung dan ilmu alam. Tapi apakah gue mampu secara maksimal menyadarkan mereka bahwa apa yang dipelajari ini nggak berhenti di buku rapor?
Sekarang gue paham, jumlah memang menentukan seberapa jauh gue bisa dipercaya. Tapi sebenarnya esensi dari kemampuan gue sendiri dinilai dari seberapa besar kualitas yang dihasilkan dari jumlah yang dipercayakan ke gue.

Pembelajaran ini gue dapatkan saat gue bisa bertatap muka dengan semua orangtua mereka. Rasa haru menyelusup ketika semua orangtua berkata bahwa ada perubahan dalam diri mereka.

Apakah mereka menjadi pintar berhitung?
Kalau ukurannya bisa menyelesaikan tugas pengurangan dan penjumlahan di buku, maka jawabannya tidak. Tapi mereka mampu memahami berapa jumlah sesuatu yang dibutuhkan untuk setiap aktivitas mereka. Bukan kah itu esensi kita mempelajari matematika?

Apakah mereka menjadi pintar membaca?
Kalau ukurannya mampu menyelesaikan soal cerita dan mengarang, maka jawabannya tidak. Tapi mereka setidaknya mampu mengekspresikan diri dan perasaan lewat tulisan dan lisan. Bukan kan itu esensi kita mempelajari bahasa?

So that, did I doing something right? Perhaps. Gue nggak bisa bilang, “gue berhasil mendidik mereka”. Belum. Perjalanan mereka masih panjang. Itu lah PR gue. Rapor mereka dibagikan, tapi gue masih duduk di sini, di depan laptop. Entah semester depan gue masih mendampingi mereka atau tidak, tapi harapan gue desain pembelajaran ini mampu membuat mereka menghargai sekecil apapun hal yang diperoleh dan telah dimiliki.

You Might Also Like

0 comments: