Selangkangan, Masalah Siapa?
[cara mudah untuk
memulai adalah dengan mulai. Tak perlu perkenalan, karena perkenalan adalah awalan.
Sebuah “mulai”. Tak perlu prolog, karena prolog adalah pembukaan. Sebuah “mulai”.
Tak perlu basa-basi, karena basa-basi adalah permulaan. Sebuah “mulai”. Jadi rasanya
gue nggak butuh kenalan lagi, sebuah prolog, atau basa-basi, untuk kembali
berbicara di sini, karena dengan gue diam di situlah gue benar-benar bicara.]
Kalian nggak usah percaya kalimat di atas. Itu sih cuma
pemanis aja karena gue lama nggak nulis. Semacam permisi yang nggak usah
ditanggepin, apalagi dipikirin. Nggak penting juga buat kehidupan kalian. Trust
me!
Tapi apa yang mau gue tulis mungkin penting. Mungkin juga
nggak buat orang-orang yang udah eneg
sama masalah selangkangan. Entah karena anti, mainstream, jijik, atau nggak
peduli sama sekali. Any reason makes sense. It is as sense as the thing I would
tell (perhaps).
Masalah selangkangan buat gue bukan sekedar penetrasi. It’s
more than sexual intercourse. It’s all about around it.
Termasuk rahim.
Beberapa menganggap rahim adalah tempat pembuahan. Sisanya bisa
meneropong jauh dari itu. Rahim sama seperti buah zakarnya kaum adam. Tempat bermulanya
kehidupan. Tanpa sperma, rahim tidak bisa menghasilkan kehidupan. Vice versa. (ini terlepas dari kekuasaan
Tuhan kepada Maryam, ya!)
Mulanya ketemuan sore ini ngebahas kerjaan, eh nyasar ke vaksin
pra-nikah. Karena dulu sempat ngebuat campaign serupa, obrolan kita bagai api
dicipratin minyak tanah. Makin seru. By the end ngerumpiin masalah punya anak.
Teman gue ini posisinya udah diperistri, jadi mungkin
pressure beranaknya lebih gede dibanding gue. Tapi dengan santainya dia bilang,
“gue sih, Ta, masalah anak nggak mau
ngoyo. Suami gue aja bilang nggak mau maksa gue buat punya anak. Itu kan
rejeki, gimana Allah yang ngatur”.
Gue sependapat sih, but gue nyinyirin gini, “lo berduanya sih santai, lha keluarga
gimana? Kayak nggak tau lingkungan aja.”
Lingkungan?
Yes. The surroundings.
Teman gue pun setuju kalau masih banyak lingkungan yang memperkarakan
“nggak bisa nganak” itu jatuhnya ke tanggung jawab perempuan. Saat pasutri
nggak punya keturunan, mostly pihak perempuan lah yang dipojokkan. (noted,
mostly ya, bukan semuanya!) Dituding nggak subur. Mandul. Atau kalian pernah
dengar alasan yang lebih ekstrim?
Take a look, ML bukan tanggung jawab tunggal wanita kan? Ada
pria yang ambil peran di dalamnya. Tapi kenapa masih ada kasus perceraian
karena tidak-adanya-kehadiran-buah-hati-dalam-rumah-tangga? Kenapa masih terjadi
perselingkuhan antarsuami dengan wanita-yang-bisa-nganak di tengah pernikahan
yang sah dan suci? Kenapa masih ditemukan menantu yang dipandang sebelah mata
oleh mertua yang tidak mendapatkan cucu?
Salah ya emang cewek kalau nggak bisa nganak?
I ever asked my partner, “kalau suatu hari kita married dan nggak punya anak, would you find
another woman to give you a baby?”. Gue sengaja nggak mengakhiri pertanyaan
dengan, “would you leave me?” karena
yang mau gue point out bukan komitmennya, tapi bagaimana dia memandang seorang
anak dalam pernikahan. Komitmen urusan kita berdua yang penyelesaiannya pun
oleh kita berdua. Lha tapi urusan keturunan kan bukan cuma antara si suami dan
istri. Beginian bisa nyangkut ke gengsi si mertua, omongan tetangga, bahkan
siapa-yang-akan-meneruskan-usaha-keluarga.
Gue cukup puas dengan jawaban yang didapat, bahwa kealpaan
seorang anak bukan murni kesalahan si istri. Bisa jadi kualitas sperma yang
kurang bagus.
Teman gue juga tadi sependapat dengan nyerocos begini, “gue inget guru biologi SMP gue bilang kalau
makanan yang dimakan lelaki sebelum nikah itu ngaruh banget ke kualitas sperma.
Rokok juga ngaruh. Pada dasarnya masalah di rahim wanita itu bisa diatasi,
misalnya yang rahimnya terlalu bawah, kista, atau yang terkenal ada karena “rahim
kering”. Kista kan sekarang bisa suntik hormon untuk memperkecil. Tapi, Ta,
sayangnya belum banyak yang well-known masalah ini. Lha coba sekarang berapa
banyak sih lelaki yang mau legowo kalau kualitas spermanya rendah?”
That’s it!
Kualitas sperma.
Sekarang coba mundur sedikit aja dari masalah fertilisasi. Gue
cuma wondering aja, berapa banyak yang udah aware untuk menjaga testisnya dibanding
cewek yang mati-matian ngejaga selaput dara? Hmm?
Gue sengaja nggak menghubungkan masalah selaput dara dengan “keperawanan”,
begitu juga masalah si zakar dengan “keperjakaan”, karena whether “keperawanan”
or “keperjakaan” nggak punya indikator.
Apakah perempuan yang selaput daranya udah sobek bisa
disebut udah nggak perawan? Terus kalau udah petting masih pantas menyandang
status perawan atau perjaka? Bagaimana yang doyan onani, masih perjaka kah?
See?
Masalah selangkangan buat gue bukan sekedar penetrasi. It’s
more than sexual intercourse. It’s all about around it.
Termasuk rahim. Begitu pun testis.
Termasuk ovarium. Begitu pun sperma.
Termasuk selaput dara. Begitu pun penis.
It’s
all about the best you give for your partner.
0 comments: