#resfvck

5:30 PM Tameila 1 Comments

Terkadang saya agak geli kalau melihat dua orang insan manusia (baca : orang pacaran) yang berhenti di pinggir jalan. Si cewek mukanya ditekuk kayak payung lipet dan si cowoknya berempati ria. Entah empati dalam arti sesungguhnya atau kamuflase supaya dianggap sebagai makhluk yang punya hati. We never know what someone else feels, right ? Lucunya lagi kalau saya sempat menguping apa yang mereka bicarakan. Terkadang sayup – sayup terdengar dumelan dari pihak perempuan atau rayuan bertabur gombalan dari di laki – laki. Kalau sudah begini, biasanya saya dan teman – teman sibuk menirukan apa yang mereka lakukan di belakang. Kalau saya sedang sendirian paling cuma senyum – senyum sambil menajamkan pendengaran. Well…there’s always something funny ketika saya dapat menangkap (include menguping) pembicaraan orang lain.

Sore ini selepas melepas kekakuan otot, saya langsung memposisikan diri di depan PC tercinta. Baru sadar kalau sedari tadi si Hitam ini saya fungsikan sebagai pemutar lagu. Sambil menunggu kepingan nyawa menjadi kesatuan yang utuh, I log on into facebook. Masuk home then…hmm….lihat status orang – orang yang beraneka ragam. Ada yang ngeluh corel draw – nya error, ada juga yang ngeluh tentang pacarnya nggak kunjung kirim SMS, dan perhatian saya terhenti pada sebuah status. Intinya status itu bilang kalau si empunya account baru saja nemu orang pacaran ribut di pinggir jalan. Si cowok sibuk ke bego – begoin ceweknya. Si ceweknya juga nggak mau kalah nih, dia serang balik cowoknya itu dengan bilang nggak punya otak.

Kalau saya ada di antara mereka berdua dan mampu menahan senyum, saya applause buat diri saya sendiri. What a stupid both them ! Hey buddies, kalian berdua sama tidak punya otak dan sama bego. Lha kalau lo bilang cewek lo bego, ngapain lo dulu mau sama dia ? Elo juga, udah tahu ini cowok nggak punya otak, masih aja lo pacarin. But the fact is I wasn’t there.

Kurang lebih sudah tiga minggu terakhir ini penulis favorit saya, Samuel Mulya, menulis tentang perilaku buruk laki – laki terhadap perempuan di Kompas. Di kolom Parodi itu, Samuel Mulya menulis tentang kebiasaan laki – laki yang kasar, baik verbal maupun non – verbal. The goal dari menjadi makhluk kasar itu adalah respek. Pria ingin dihormati oleh wanita.

Hmm….sounds gender banget agaknya tulisan ini nantinya. But the point that I want to say isn’t about equality. It’s about how we respect each other as human beings. Film yang saya tonton semalam berjudul “It’s a boy – girl thing”. Ceritanya jiwa si dua tokoh utama ini tertukar. Jiwa mereka berpindah tempat. Samaire Armstrong, starring as Nell Bedworth, harus bertukar raga dengan Kevin Zegers, starring as Woody Deane.

Kevin is still as cute as he was in Air Bud ! Trust me !

Jalan ceritanya sih udah bisa ditebak. Mereka menjalani hidup masing – masing as normal as possible sambil mencari jalan mengembalikan jiwa dan raga mereka pada kondisi normal. Tapi dari sesuatu yang biasa itulah saya menangkap sesuatu yang jarang disadari oleh kita. Hal kecil yang sebenarnya dapat melahirkan sesuatu yang besar, yakni respek tadi. What’s that ? That is we need to understand kalau masing – masing pihak punya cara berbeda untuk menghormati lawan jenisnya. Sialnya hal ini menjadi kompleks karena di setiap pihak itu juga caranya tidak selalu sama. Antara perempuan satu dengan lainnya pasti tidak sama dalam menghargai kerja keras laki – laki, begitu pun sebaliknya.

It’s a normal kalau kita mengharapkan respek dari orang lain. Bapak Maslow juga bilang kalau respek (penghargaan, penghormatan) adalah salah satu kebutuhan manusia. Tapi yang sering menjadi masalah adalah bagaimana kita memenuhi kebutuhan itu ? Bagaimana cara kita supaya mendapat respek dari orang lain ?

Setiap orang punya caranya masing – masing untuk dapat diterima, dihargai, dan dihormati oleh sekitar. Bagi pelacur, mungkin dengan semakin berpakaian mini dia merasa terhormat. Bagi tokoh agama, mungkin dengan semakin banyak memasukan “Tuhan” dalam pembicaraannya dia merasa semakin disegani. Para pejabat sibuk meng – “Image branding” – kan dirinya dengan ikut kegiatan sosial ini – itu. Bagus siihh…ada kepedulian pada masyarakat, tapi ujung – ujungnya pasti kegiatan itu nongol di poster kampanye. Difoto lagi gendong bayi lah, lagi duduk bareng mamang becak, atau pose senyum mengayomi masyarakat. And I’m sick of those shit !

Then…sekarang bagaimana cara kita mem – “branding” diri kita sehingga people put their respect ? Apakah laki – laki harus being monster dulu supaya dihormati oleh perempuan ? Atau perempuan need to be a slut first supaya dapat diterima oleh laki – laki ?

Well…semuanya kembali pada diri kita masing – masing. Saya jadi ingat perkataan seseorang yang mengutip kalimat bijak. Intinya dia bilang pada saya, selama hidup berlaku lah sebagaimana kita ingin dikenang setelah meninggal. Kalau ingin jadi orang baik, ya jadi orang baik. Kalau ingin dikenang kayak Hitler, ya berkeras kepala dan otoriter lah.

Sayangnya, sedikit yang mengenang yang baik. Ini bukan berarti saya bilang orang baik nggak dikenang lho…Nabi saya, Muhammad SAW and then Mahatma Gandhi, dan orang baik lainnya banyak kok yang dikenang. Tapi ketika mereka masih hidup sedikit yang menghormati orang – orang baik dibanding dengan yang membencinya, baik secara terang – terangan atau sembunyi. Barulah ketika orang – orang baik itu kembali ke pangkuan Tuhan, kita sadar betapa awesome - nya mereka untuk dunia ini.

Tapi nggak sedikit juga yang berkeringat men – “suci” – kan dirinya ternyata eh ternyata ada udang di balik batu. Covernya aja keren setelan orang suci, bermartabat, berpangkat, wibawa, bijaksana, bla bla bla…ujungnya asem permen karet kadaluarsa. Kalau udah begini, rasanya saya cuma pengen teriak ke muka orang itu, “fuck for the respect so here I give you my resfvck !”.

Hmm…nah kan…su’udzon lagi jadinya saya. Padahal diawal nulis ini udah berusaha sebisa mungkin berpikir positif tapi kenapa akhirnya jelek gini. Apakah ini membuktikan kalau saya belum cukup baik ? Atau malah bukan orang baik ? I don’t know. Kita nggak bisa menilai diri kita sendiri, bahkan kita pun belum tentu tahu betul siapa kita ini. Hanya Tuhan yang tahu siapa kita. Hanya Tuhan yang paham bagaimana kita. Makannya Dia tidak memberikan yang kita inginkan melainkan apa yang kita butuhkan, bukan ?

Kalau saya orang baik, mungkin saya sudah tidak ada di dunia ini. Ada celetukan yang bilang orang baik itu “diambil” duluan sama Tuhan supaya nggak kebanyakan dosa. Believe it or not ? Balik lagi deh ke positive thinking, mungkin dengan masih nafasnya kita Tuhan cuma pengen kita berbuat baik lebih banyak, menjadi pribadi yang lebih baik, dan lebih menghargai apa yang Tuhan berikan. Then when we open our eyes, He would give His respect for us.

You Might Also Like

1 comment: