Apel Ajaib
Gue nggak nyangka dia bisa masuk ke mimpi gue. Personally! I
mean, sepanjang gue mendampingi anak-anak berkebutuhan khusus, dia adalah anak
pertama yang masuk ke mimpi gue. Sendirian. Biasanya kalau gue kangen banget
dengan anak-anak didik gue, mereka berbondong-bondong masuk ke mimpi gue. Tapi aneh
dengan anak ini, dia masuk sendirian. Dengan seringainya yang khas, dia bikin
gue pengen cepat-cepat balik ke Bekasi.
Siapa pun yang pertama kali melihatnya, pasti lah tau dia
istimewa. Bukan hanya karena autis, tapi juga imajinasinya. Oh ya, gue belum
memperkenalkan dia, namanya Dzikri. Tentu saja ini bukan nama asli. Demi etika,
gue harus menyamarkan namanya.
Lanjut cerita tentang keistimewaan Dzikri.
Well then, gue pikir anak-anak dengan khayalan tingkat
tinggi cuma ada di novel Torey Hayden. Mereka yang tiba-tiba suka berteriak dan
berlagak sedang dalam situasi tertentu. Seriously, I never imagine akan
berhadapan dengan anak seperti itu. Tapi ternyata gue salah, Kamis itu gue
dipertemukan dengan Dzikri. Dengannya gue harus percaya sekaligus mengagumi
bahwa khayalan anak-anak autis itu istimewa.
Keistimewaan Dzikri langsung gue buktikan di pertemuan
pertama. Siang itu memang sedang agak santai. Selain gue yang masih beradaptasi
dengannya, memang keadaan kelas sedang kacau. Tuli bercampur dengan down
syndrome. Belum lagi anak cerebal palsy yang memaksa naik-turun tangga. Gue duduk
di sebelah Dzikri yang asyik bermain flash card. Dipangkuan gue ada Azizah
(-nama samaran), gadis kecil down syndrome berumur tiga tahun. Setelah gue
pastikan Azizah melatih jari-jarinya dengan spidol, gue usik konsentrasinya Dzikri.
Sengaja, gue pengen tau dia bisa nggak sih mengatur perpindahan fokus.
Gue kaget. Saat itu Dzikri langsung teriak nggak karuan. Dia
menutup matanya. Nggak lama suaranya seperti terengah-engah ketakutan. Gue usap
pundaknya dan bertanya mengapa. Kalian tau jawabannya?
“Awas, Bunda, awaaass!
Ada pesawat mau jatuh! Aaaaaa…tidaaakkk!” Dzikri berteriak sambil terus
menutup wajahnya. Badannya meronta tak karuan. Alhasil gue harus menenangkan
Dzikri. Yaahh..bisa ditebak, Azizah yang udah tertib fokusnya jadi hilang dan
lepas dari pangkuan gue.
Gue biarkan Azizah lari-lari di sekitaran meja. Gue duduk di
sebelah Dzikri dan masuk ke imajinasinya.
“Wah, ada pesawat?
Mana pesawatnya? Bunda tidak lihat!” kata gue sambil pelan-pelan membimbing
Dzikri duduk lagi di meja.
Dzikri diam. Badannya menegang. Gue pun nggak bergeming. Bersiaga
dengan respon Dzikri selanjutnya. Perlahan dia menurunkan tangannya, lalu
tersenyum. Gue membalas senyumnya. Dia tertawa.
“Bunda,” Dzikri
menjulurkan kedua tangannya, “ini apel
ajaib untuk Bunda!”
Gue bengong cukup lama hingga akhirnya air muka Dzikri
menegang barulah gue tersenyum.
“Wah, terima kasih. Boleh
Bunda makan apelnya?” tanya gue berpura-pura menerima apel dari tangannya.
“Aaaaakkk!” Dzikri
berteriak lagi. Dia menutup wajahnya.
“Kenapa? Ada apa?”
tanya gue tenang. Padahal sejujurnya jantung gue udah lompat-lompat kayak emosi
doi.
“Tunggu! Jangan dimakan!
Nanti kamu aku sihiiiirr!”
Gue bengong lagi. Tapi cepat-cepat gue merespon khayalannya.
“Oke kalau begitu. Apelnya tidak jadi dimakan,
tapi sekarang kita membuat kereta”, bujuk gue mengembalikan fokusnya ke
materi.
“Aaaaa tidaakkk!”
“Iya! Sekarang buat
kereta!” kata gue dengan nada tegas.
Gue sodorkan kertas dan spidol cokelat. Untungnya selama menggambar
tiga gerbong Dzikri terlihat tenang. Waktu itu adalah kesempatan gue untuk
menangkap Azizah. Hap! Baru saja Azizah tertangkap, Dzikri bangun dari
kursinya. Serentak gue dan Azizah diam memandang tingkah Dzikri. Dia berjalan
ke samping dengan gaya robot. Mulutnya menirukan bunyi lift.
“Ting…tong…”
begitu tirunya.
Pasti deh anak ini mengkhayal lagi. Gue dekati Dzikri sambil
harus menahan rontaan Azizah.
“Dzikri mau pergi ke
mana?”
“Ayoo ikut, Cambrige
Bus Station! Zzztt…zztt…ztttt…” serunya seperti robot.
Cambrige Bus Station? Terlepas di Cambrige ada bus station
atau nggak, dari mana dia dapat kosa kata itu? Terus dari sekian banyak bus
station, kenapa harus Cambridge yang dipilih?
Azizah tampaknya udah nggak betah digendongan gue. Gue dudukkan
dia di kursi, kemudian asyik bikin benang kusut di kertas dengan spidol yang
tadi dipakai Dzikri. Gue tarik Dzikri. Gue peluk. Gue dudukkan dia dipangkuan
gue.
“Dzikri duduk sini
dengan Bunda. Kita cerita tentang kereta. Apa namanya?” bisik gue.
“Cambrige Bus Station!”
“Yes, Cambridge Bus
Station!”
“Tunggu!” seru
Dzikri tiba-tiba.
Gue diam. Dia menatap gue. Gue deg-degan. Mau ngapain lagi
ini anak. Sedetik kemudian dia memeluk gue. Like seriously, Dzikri mengalungkan
tangannya ke leher gue. Lalu berbisik (tapi buat gue ini berteriak di telinga
gue), “sayang Bunda”.
Gue bengong. Saat itu juga Dzikri lepas dari pangkuan gue. Duduk
di samping kemudian melanjutkan gambar keretanya. Sambil apa? Sambil
bersenandung soundtrack Shaun The Sheep. 100% mirip, dilengkapi dengan efek suara
dombanya.
Gue? Speechless.
0 comments: