Apel Ajaib

8:40 PM Tameila 0 Comments

Gue nggak nyangka dia bisa masuk ke mimpi gue. Personally! I mean, sepanjang gue mendampingi anak-anak berkebutuhan khusus, dia adalah anak pertama yang masuk ke mimpi gue. Sendirian. Biasanya kalau gue kangen banget dengan anak-anak didik gue, mereka berbondong-bondong masuk ke mimpi gue. Tapi aneh dengan anak ini, dia masuk sendirian. Dengan seringainya yang khas, dia bikin gue pengen cepat-cepat balik ke Bekasi.

Siapa pun yang pertama kali melihatnya, pasti lah tau dia istimewa. Bukan hanya karena autis, tapi juga imajinasinya. Oh ya, gue belum memperkenalkan dia, namanya Dzikri. Tentu saja ini bukan nama asli. Demi etika, gue harus menyamarkan namanya.

Lanjut cerita tentang keistimewaan Dzikri.

Well then, gue pikir anak-anak dengan khayalan tingkat tinggi cuma ada di novel Torey Hayden. Mereka yang tiba-tiba suka berteriak dan berlagak sedang dalam situasi tertentu. Seriously, I never imagine akan berhadapan dengan anak seperti itu. Tapi ternyata gue salah, Kamis itu gue dipertemukan dengan Dzikri. Dengannya gue harus percaya sekaligus mengagumi bahwa khayalan anak-anak autis itu istimewa.

Keistimewaan Dzikri langsung gue buktikan di pertemuan pertama. Siang itu memang sedang agak santai. Selain gue yang masih beradaptasi dengannya, memang keadaan kelas sedang kacau. Tuli bercampur dengan down syndrome. Belum lagi anak cerebal palsy yang memaksa naik-turun tangga. Gue duduk di sebelah Dzikri yang asyik bermain flash card. Dipangkuan gue ada Azizah (-nama samaran), gadis kecil down syndrome berumur tiga tahun. Setelah gue pastikan Azizah melatih jari-jarinya dengan spidol, gue usik konsentrasinya Dzikri. Sengaja, gue pengen tau dia bisa nggak sih mengatur perpindahan fokus.

Gue kaget. Saat itu Dzikri langsung teriak nggak karuan. Dia menutup matanya. Nggak lama suaranya seperti terengah-engah ketakutan. Gue usap pundaknya dan bertanya mengapa. Kalian tau jawabannya?

Awas, Bunda, awaaass! Ada pesawat mau jatuh! Aaaaaa…tidaaakkk!” Dzikri berteriak sambil terus menutup wajahnya. Badannya meronta tak karuan. Alhasil gue harus menenangkan Dzikri. Yaahh..bisa ditebak, Azizah yang udah tertib fokusnya jadi hilang dan lepas dari pangkuan gue.

Gue biarkan Azizah lari-lari di sekitaran meja. Gue duduk di sebelah Dzikri dan masuk ke imajinasinya.

Wah, ada pesawat? Mana pesawatnya? Bunda tidak lihat!” kata gue sambil pelan-pelan membimbing Dzikri duduk lagi di meja.

Dzikri diam. Badannya menegang. Gue pun nggak bergeming. Bersiaga dengan respon Dzikri selanjutnya. Perlahan dia menurunkan tangannya, lalu tersenyum. Gue membalas senyumnya. Dia tertawa.

Bunda,” Dzikri menjulurkan kedua tangannya, “ini apel ajaib untuk Bunda!”

Gue bengong cukup lama hingga akhirnya air muka Dzikri menegang barulah gue tersenyum.

Wah, terima kasih. Boleh Bunda makan apelnya?” tanya gue berpura-pura menerima apel dari tangannya.

“Aaaaakkk!” Dzikri berteriak lagi. Dia menutup wajahnya.

Kenapa? Ada apa?” tanya gue tenang. Padahal sejujurnya jantung gue udah lompat-lompat kayak emosi doi.

Tunggu! Jangan dimakan! Nanti kamu aku sihiiiirr!”

Gue bengong lagi. Tapi cepat-cepat gue merespon khayalannya. “Oke kalau begitu. Apelnya tidak jadi dimakan, tapi sekarang kita membuat kereta”, bujuk gue mengembalikan fokusnya ke materi.

Aaaaa tidaakkk!”

Iya! Sekarang buat kereta!” kata gue dengan nada tegas.

Gue sodorkan kertas dan spidol cokelat. Untungnya selama menggambar tiga gerbong Dzikri terlihat tenang. Waktu itu adalah kesempatan gue untuk menangkap Azizah. Hap! Baru saja Azizah tertangkap, Dzikri bangun dari kursinya. Serentak gue dan Azizah diam memandang tingkah Dzikri. Dia berjalan ke samping dengan gaya robot. Mulutnya menirukan bunyi lift.

Ting…tong…” begitu tirunya.

Pasti deh anak ini mengkhayal lagi. Gue dekati Dzikri sambil harus menahan rontaan Azizah.

Dzikri mau pergi ke mana?”

Ayoo ikut, Cambrige Bus Station! Zzztt…zztt…ztttt…” serunya seperti robot.

Cambrige Bus Station? Terlepas di Cambrige ada bus station atau nggak, dari mana dia dapat kosa kata itu? Terus dari sekian banyak bus station, kenapa harus Cambridge yang dipilih?

Azizah tampaknya udah nggak betah digendongan gue. Gue dudukkan dia di kursi, kemudian asyik bikin benang kusut di kertas dengan spidol yang tadi dipakai Dzikri. Gue tarik Dzikri. Gue peluk. Gue dudukkan dia dipangkuan gue.

Dzikri duduk sini dengan Bunda. Kita cerita tentang kereta. Apa namanya?” bisik gue.

Cambrige Bus Station!”

Yes, Cambridge Bus Station!”

“Tunggu!” seru Dzikri tiba-tiba.

Gue diam. Dia menatap gue. Gue deg-degan. Mau ngapain lagi ini anak. Sedetik kemudian dia memeluk gue. Like seriously, Dzikri mengalungkan tangannya ke leher gue. Lalu berbisik (tapi buat gue ini berteriak di telinga gue), “sayang Bunda”.

Gue bengong. Saat itu juga Dzikri lepas dari pangkuan gue. Duduk di samping kemudian melanjutkan gambar keretanya. Sambil apa? Sambil bersenandung soundtrack Shaun The Sheep. 100% mirip, dilengkapi dengan efek suara dombanya.


Gue? Speechless.

You Might Also Like

0 comments: