“Saya bisa apa?”
Akhir-akhir ini saya kedapatan tugas baru, ngebangunin dua
tetangga kamar untuk sahur. Kalau lagi malas, kadang mereka melas-melas sok
imut sambil nitip uang supaya dibeliin sahur malamnya. Saya bisa apa natap mata
dua jejaka itu kelaparan? After through short negotiation (lebih terasa dirajuk
sih), I committed to serve their sahur. Well, it’s not about gender, who’s
prepare the food and who’s just eat it. Hanya karena saya perempuan satu-satunya
lantas saya mau melakukannya? Nope, we have no that boundary at all. Thanks God,
You meet me with these genderless mind guys. Hikmahnya, karena saya sudah
memastikan sahur mereka, dan saya susah lagi tidur sampai adzan subuh, saya
bisa seenak jidat maksa mereka untuk tetap melek
sampai adzan. Biasanya kita ngegosip (ralat: membahas realita) sampai subuh
memanggil. Anything could be talked and we always get lesson learned for each
self.
Seperti tadi subuh, percakapan ini diawali dengan
berkembangnya perusahaan-perusahaan yang udah melek go green dan global
warming. Teman saya yang kerja di migas bilang, di kantornya udah nggak bisa
sembarangan ngeprint dan kalau ngeprint harus bolak-balik, irit kertas. Teman saya
yang satunya, sebagai auditor di salah satu bank bilang, pada jam pulang kantor
listrik semua dimatikan dan yang lembur hanya menggunakan lampu meja. Saya,
yang kerja di maskapai, nggak mau kalah dong hehehe, saya bilang di kantor juga
menerapkan reuse kertas. Bukannya kami merasa paling pahlawan lingkungan. No!
Ini masih terlalu kecil untuk bisa menyelamatkan bumi, tapi kami pun menyayangkan,
masih ada beberapa orang yang tau dan ngerti tapi cuek sama lingkungan. Alasannya
“saya bisa apa?” (seperti kata hati saya
di atas) dan berujung pada “yang
penting kerjaan cepat selesai.”
Ngomong-ngomong “kerjaan
cepat selesai”, akhirnya kita masuk pada diskusi korupsi. Yes, a thing that
actually matters in front of our eyes. Kami bertiga punya persepsi beda untuk
hal ini. Buat saya, korupsi adalah tindakan yang tidak sesuai aturan yang
menguntungkan dirinya sendiri atau kelompok. Teman saya yang di migas bilang,
korupsi itu bukan melulu soal uang, tapi intangible thing juga sehingga
merugikan perusahaan atau suatu pihak. Yang bikin saya ternganga, arti korupsi
dari teman auditor saya, dia bilang, “dari
definisinya, korupsi itu kan sebuah tindakan yang memperkaya diri sendiri atau
orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung”.
“Secara tidak langsung?”
tanya saya.
“Iya. Saat seseorang
membuat kebijakan yang akhirnya bisa memperkaya orang lain, itu termasuk tindak
korupsi.”
Saya diam. Sebegitu biasnya kah makna korupsi sehingga
pelakunya bisa licin bergerak seperti belut? Ngeles A, B, C, supaya
enggak disebut koruptor. Atau mungkin tindak korupsi itu sendiri sesuatu yang
subjektif? Bagi satu pihak itu salah, bagi yang lain masih wajar.
Wajar?
Pemakluman.
Dari KBBI online, maklum adalah sesuatu yang dapat dipahami
(dimengerti). Sedangkan kalau saya coba relasikan, pemahaman didasari dengan
basic edukasi. Semakin tinggi tingkat edukasi, maka pemahaman semakin baik. Begitu
pun sebaliknya. Jadi seharusnya di tempat-tempat yang edukasinya so good, nggak
ada lagi korupsi. Begitu, bukan? Unluckily, jawabannya bukan. Pemahaman terhadap
korupsi saya rasa nggak sepenuhnya terikat dengan tingkat edukasi seseorang dan
lingkungan.
Kalau memang begitu adanya, kenapa korupsi justru dilakukan
oleh orang yang well educated?
Kami bertiga lanjut ngobrolin kasus korupsi, mulai dari
level se-Indonesia, daerah, sampai yang di depan mata. Mulai dari yang memang
dilakukan oleh orang-yang-dikenal-nggak-beres, sampai
orang-yang-dianggap-baik-sampai-tidak-disangka-kok-bisanya-sih-kena-kasus-korupsi.
Di tengah obrolan, tercetus lah kata “integrity”.
Suatu tindakan keep on track meski tak ada seorang pun yang melihat.
Is it enough to keep away our self from corruption with “integrity”?
Saya jadi ingat kata-kata mentor saya kala final
presentation, “ingat ya, Gita, tiga hal yang harus kamu pegang. Integritas,
loyalitas, dan attitude. Be the best.” Di waktu yang bersamaan, saya terngiang
ucapan seorang teman beberapa waktu lalu, “fact of capitalism, some lucky
bastard are hired to show how brain and integrity are never be enough. When we
are the unlucky one, just bark it out loud and forget it”.
Saya tertegun saat itu juga. Jadi, saat ini saya dan dua
teman saya sedang barking out loud? Atau malah kebalikannya, sebenernya kami
pun pelaku korupsi hanya saja tidak merasa karena tindak korupsi tidak sesuai
dengan definisi kami masing-masing?
Adzan subuh berkumandang. Panggilan-Nya menyudahi gerutu
kami bertiga terhadap apa yang tidak sesuai di depan mata. Namun kembali, “bisa apa?”.
“Harus orang
non-daerah kalau mau ngungkap kasus korupsi. Nggak bisa orang daerah. Serba salah,
nanti maju kena, mundur kena.” tutur teman saya si auditor sebelum masuk ke
kamar mandi.
“Betul,” timpa
teman saya yang kerja di migas menyetujui, “banyak
orang masih takut di-cut jabatannya. Mentok sana – sini. Jadinya ya mereka cuma
diam aja.”
Kembali, “bisa apa?.”
tanya saya dalam hati.
Saya masuk kamar dengan kepala masih bertanya-tanya. “Saya bisa apa?”. Memang, Tuhan Maha Tahu
apa yang ada di dalam benak setiap hamba-Nya. Dengan cara-Nya memberikan
jawaban, Dia menuntun saya untuk membuka satu akun Line dan membaca
timelinenya. Padahal baca timeline social media saat ini menjadi sesuatu yang
sangat jaraaaaaaaaaaang dan ogaaahh saya lakukan. Selain isinya begitu-begitu
aja, yang ada cuma bikin perasaan makin nggak karuan. Tapi kali ini beda. Di
akun itu, saya temukan jawabannya,
“Kalau tidak bisa
memperbaiki, jangan menambah kerusakan. Menghindari mudharat lebih diutamakan
daripada mengharapkan manfaat.”
Masih belum cukup (karena sejujurnya saya juga belum begitu ‘ngeh’
sama maksud Tuhan), Dia menunjukkan jawaban-Nya lewat novel yang sedang saya
baca. Bunyinya,
“Aku tak bisa
membayangkan bagaimana pria seperti Lugner hidup di Indonesia dan dielu-elukan.
Toh, ini pelajaran abadi buatku. Menghargai apa yang sudah dianggap biasa di
negeri orang meski tampak tak pantas buatku, adalah perjalanan panjang yang
menempa diri menjadi pribadi yang gigih untuk selalu toleran.” (Bulan
Terbelah di Langit Amerika (hal.23) – karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga
Almahendra).
Toleransi.
Haruskan kita toleransi untuk semua kesalahan dan
ketidaksesuaian yang tak mampu dibenahi?
Mungkin iya. Karena toh selemah-lemahnya iman adalah berdoá,
bukan? Berdoá agar kesalahan dapat diperbaiki. Berdoá agar ketidaksesuaian
dapat diluruskan. Dan berdoá agar diri ini tidak melakukan tindak yang serupa.
(picture taken from Pinterest)
Ya, saya bisa apa? Cuma Tuhan yang bisa apa-apa.