Bertambah = Mengurangi (?)

5:39 PM Tameila 0 Comments

Memang sudah masanya saya saat ini ketiban banyak undangan pernikahan. Dimulai dari tagging di social media, group chat, hingga direct phone call. Yes, it was! I was called by friend hanya untuk ngundang ke pernikahannya. I was so touched! :')

I am happy for them. But it got sick when they started ask, "lo kapan, Git?".

Me? Wait. I have some excuses for it. Nggak perlu saya beberin alasannya, but thing for sure my turn isn't right now.
 
Suatu sore seorang teman yang lain ulang tahun. Usianya baru menginjak angka 22. Dengan semangatnya, saya ketik doá panjang lebar, then sent! Balasannya cukup mengejutkan waktu dia bilang, "loh mbak, kok nggak ada doá cepat nikahnya?". Geez! Saya mengerutkan kening. Aneh. Usianya belum juga seperempat abad udah kepengen nikah aja. Waktu saya tanya alasannya, dia bilang pengen nikah muda. Katanya lagi, untuk dia sekarang udah cukup sukses, jadi apalagi yang harus ditunggu?

Talking about success, I don't want to make any judgement. But here we're talking about marriage. Sesuatu yang nggak cukup modal cinta atau suka sama suka. It takes more than commitment. It looks like sacrifice.

Sacrifice?

Ketika jari saya menyusun kata di atas, saya jadi mikir, apa iya pernikahan itu pengorbanan? Menghilangkan sebagian dari dalam diri untuk yang baru. Orang baru dalam hidup. Nuansa baru dalam hidup. Kebahagiaan baru dalam hidup. Sounds like masocist. Merelakan diri untuk merasa sakit agar bahagia. Ah, ataukah pengorbanan di sini malah tidak terasa menyakitkan?
Suatu pagi saya menanyakan hal ini pada seorang teman. Wanita, seumuran dengan saya, punya anak satu, hidup sederhana, dan...bahagia. Yeah, at least I could take her happiness dari foto-foto yang diunggahnya.

Kala itu saya melemparkan satu pertanyaan pada dia, "waktu lo mau married, lo nggak takut kehilangan diri lo?"

"Of course not! What do you mean of losing yourself?"

"Yeah, simply, all maried people atau semua orang yang mau nikah, selalu bilang 'gue harus nahan diri dari ABC' atau 'gue kan mau nikah, jadi harus ngurangin maen dengan teman' atau 'kan udah mau nikah jadi nggak boleh lagi ABC'. Can we just don't change our self for marriage?"
 
Teman saya ini cuma ketawa. Dia bilang saya masih egois. Ah, bodok amat, toh memang saya belum ada planning nikah juga (dalam waktu dekat --- *winking to partner*). Tapi yang cukup menohok waktu dia bilang, "things get change and it wouldn't feel hurt when you let it changed. When you believe it drives to every good things."
 
Saya diam.
 
Dia melanjutkan, "Git, marriage is not only about you. It's about others. Ketika kamu sudah memutuskan untuk ijab, tandanya kamu sudah rela membagi hidupmu."
 
Masih nggak masuk ke logika saya sih. Bagaimana bisa, ketika kita menambahkan malah menjadi mengurangi?
 
Nampaknya Tuhan tahu kemiringan otak saya. Sejak siang itu sampai dua hari berturut-turut seakan semesta memberikan jawaban.
 
Pertama, sahabat saya di Jepang tiba-tiba chat. Dia bilang sekarang sedang hamil dua bulan. She was so happy of course. Dan bilang, "gue nggak bisa lagi banyak kegiatan. Harus dikurangi. Tapi jadinya males dan bosen. Ah, nggak apa-apa, asalkan baby-nya sehat." See? Dia harus menahan dirinya dari kesukaan untuk seorang jiwa baru dalam hidupnya. Mengurangi "diri sendiri" untuk sesuatu yang baru.
 
Kedua, malamnya "si patjar" nelefon. He mentioned that he cut his time with his friend just for having call with me. I was so impressed. But then, I was back wondering, "rasanya gue nggak pernah minta lo untuk ngurangin waktu dengan teman-teman lo. What I asked was manage your time so we still have 'me-time' for each other". See? Di sini malah saya yang jadi faktor pengurang untuk penambahan dari "si patjar".
 
Ketiga, (ini sih yang paling nendang), nyokap nelfon. Entah doi belajar cenayang dari mana, kalimat penutup sesi curhat kita adalah, "mulai sekarang harus pinter-pinter ngatur diri. Nabung. Jaga diri. Latihan emosi. Bagi pikiran. Kalau udah nikah bukan cuma kerjaan yang dipikirin, keluarga juga harus diurus. Capek sih tapi itu sudah tugasnya. Shalat dan minta dikuatkan terus sama Allah." (damn, my tears are falling down!).
 
Dan masih ada serentetan jawaban semesta lainnya....
 
Akhirnya saya sadar, dari semua tanda yang diberikan-Nya, pengorbanan mereka berujung pada satu hal, a bigger happiness. Yes, it is. Suatu kebahagiaan lebih yang mungkin nggak ada apa-apanya dari yang sudah dikorbankan.
 
Coba kita berkaca pada pada Ibu. They threw all their hanging time, just for listening their first word came out from their babies. Coba lihat para Ayah. They erased their guilty, just for earning money for their family. Or for every partner, who felt sorry to friends just for attending their date.
Rasanya kebahagiaan manusia ini udah diukur sama Yang Di Atas. Setiap orang porsinya berbeda. Once they want to increase their happiness, thing to do is sacrificing another happiness so they are allowed to add new happiness. Ibaratnya berkorban dua untuk mendapatkan tiga. Atau kah hitungannya tidak sesederhana itu? Atau malah tidak ada hitungan hingga perngorbanan pun tak terasa untuk sebuah kebahagiaan yang lebih besar?
 
Kalau kata teman saya, perspektif saya untuk pernikahan masih 1 + 1 = 2. Padahal, kata dia, 1 + 1 dalam pernikahan itu bisa jadi 3 atau ~. Otak ngeres saya langsung saja nyamber, "ya iya lah, lo udah nikah 1 + 1 = ~, lo beranak terus sih!".
 
Well, terlepas dari apa dan seberapa besar yang dikorbankan, mungkin bagi mereka yang sudah menikah tidak ada lagi perhitungan. Tidak ada tambah. Kurang. Bagi. Kali. Tak hingga. Mereka tidak mengenal matematika. Mungkin yang mereka tahu adalah kerja sama untuk membangun kebahagiaan.
 
Mungkin.
 
Entah lah, kalau melihat kepada orang terdekat yang akhirnya cerai pun, toh hidupnya sekarang bahagia. Saya nggak mau bilang "pernikahan yang gagal". Karena dalam kamus saya, nggak ada "pernikahan yang gagal". Sesuatu yang gagal akan membuat sengsara, nah ketika mereka masing-masing single dan bahagia apakah pernikahan itu "gagal"? Nope! For me, itu akan menjadi "pernikahan yang membebaskan".
 
Thanks God for any signals. Setidaknya saya bisa belajar sedikit apa itu arti "mengurangi" untuk kebahagiaan yang "lebih". Meski saya belum sepenuhnya ngerti kenapa orang yang "mengurangi" bisa merasa "lebih". Yang pasti, I always be bold to my partner that, "for every shits happen, I don't want to change your self. And never ever change your self for me.  Once you change your self for me, watch out that I'll never be my self again. Why? Because I let my self this far with you just because you are. Not plus. Not minus. Change for the shake of yourself."

You Might Also Like

0 comments: