Nature
Memang tak mudah menemukan yang telah hilang. Atau mengenal yang belum diketahui.
Tapi
jauh lebih sulit mendatangkan yang telah pergi di depan mata.
Setiap
yang pergi pasti memiliki keengganan untuk tinggal. Dari padanya tak ada lagi
hasrat untuk setia. Mungkin sudah merasa tak mendapat untung. Wajar saja. Setiap
yang hidup ingin untung, toh? Ingin mendapat sesuatu dari pengorbanannya. Sejak
kecil memang kita sudah diajarkan begitu. Kalau menerima sesuatu ucapkan terima
kasih. Kita terbiasa untuk membalas.
Itu
baik. Saya tak mengata itu adalah buruk. Tapi apakah kita bersiap diri untuk
tidak menerima balik dari pada yang kita korbankan?
Saya
masih percaya kodrat. Satu hal yang melekat pada suatu tercipta. Ia seperti
sebuah peta menuju bilik tujuan. Di sana dapat kita temui jalan lengkap dengan
rambunya. Bagaimana kalau ingkar? Apakah salah? Tidak. Tuhan bukan seperti barisan
abu-abu di pinggir jalan protokol. Tak ada kata “tilang” pada-Nya.
Namun
saya selalu punya ingin sendiri. Tatkala lampu menyala merah, harusnya berhenti.
Tapi siapa yang hendak melarang? Jalan terus pun diperbolehkan. Ingat, tidak
ada “tilang” di sini.
Jalan
ini milik saya dan –Nya. Hanya kita berdua. Kalau tersesat, lihat lah rambu. Kalau
tak mengerti, bertanya pada-Nya. Malu bertanya? Bukan sesat di jalan. Jalan sendiri.
Karena selain “tilang”, kodrat pun tak mencatat kata “nyasar”. Setiap jalan
yang ditempuh pasti memiliki ujung. Pasti sampai. Pertanyaannya, apakah itu
tujuan awalnya?
Dalam
perjalanan, ada kebebasan untuk menjadi siapa pun dan apa pun. Dengan begitu saya
berganti-ganti wujud supaya tak dikenali. Suatu waktu saya menjadi A, di lain
tempat rasanya berwujud B lebih cocok, atau saya bertransformasi C jika diperlukan.
Ini bukan topeng karena saya tidak memasang dan melepasnya. A, B, C, dan
lainnya datang dengan adanya. Mereka beradaptasi tanpa harus dikomandokan. Lalu,
siapa yang setia meninggal pada diri? Masih yang merasa mendapat untung?
“Nanti juga ada waktunya.”
Ini
semua hanya tentang saat dalam perjalanan.
Baiklah,
saat ini saya menghenti melangkah. Saya terjemahkan apa yang ada di sekitar. Ternyata
tampaknya berbeda dari saat saya berjalan. Awalnya yang tampak bias, kini
menjadi lebih jelas. Siapa yang lama bersinggah, siapa yang hanya melewat. Siapa
yang masih ada, siapa yang telah tiada. Siapa yang berubah, siapa yang menua
dengan tetap sama.
Kodrat
membuat saya bekerja. Sehingga seiring itu pergantian menjadi sesuatu yang
biasa. Biasa karena harus, bukan karelaan. Karena rela datangnya dari dalam. Sedangkan
ini datangnya dari luar. Dari jalan saya. Sebuah objek. Bukan dari diri saya. Sebuah
subjek.
Tapi
sering saya dengar perubahan pun bisa datang dari dalam. Ceritanya sebuah
transformasi. Banyak saya perhatikan semuanya hanya menyisakan delusi. Kebahagiaan
semu. Karena sesungguhnya yang mereka inginkan adalah situasi yang sama. Nyaman.
Eh, salah, bukan semuanya. Sebagian besar. Atau hanya setengahnya. Aih, entah
lah. Karena pembagi terhadapnya pun saya tak mengerti sebesar apa dan terhadap
apa.
“Pilihanmu di jalan hanya ada dua, kalau
tidak disalip ya ditabrak.”
“Bagaimana dengan menabrak?”
“Setolol-tololnya orang, nggak akan ada yang
mau mencelakakan diri. Orang tolol itu masih punya akal. Dia bisa mikir cuma
kapasitasnya kecil. Yang bunuh diri udah nggak punya akal, jadi dia lebih dari
tolol.”
“Menabrak bukan sesuatu
yang disengaja. Ia tak sengaja.”
“Ada akal yang membuatmu tetap terjaga.”
Saya
intip perbekalan di jok belakang sebelum kembali berjalan. Rupanya banyak yang
telah habis. Harusnya saya isi ulang sebelum mati kelaparan. Atau hilang akal.
Saya
harus kembali turun ke jalan. Jangan berlama di pinggir. Salah-salah nanti
ditawar. Mesin telah panas menyala. Bukan untuk menyalip. Bukan untuk siap
ditabrak. Tapi menuju kodrat. Di mana prosesnya harus menempatkan skeptisme
terhadap setiap jawaban. Jangan asal mengamini. Alih-alih saya tersedot waktu.
“A human being is a
part of the whole called by us universe, a part limited in time and space. He
experiences himself, his thoughts and feeling as something separated from the
rest, a kind of optical delusion of his consciousness. This delusion is a kind
of prison for us, restricting us to our personal desires and to affection for a
few persons nearest to us. Our task must be to free ourselves from this prison
by widening our circle of compassion to embrace all living creatures and the
whole of nature in its beauty.” ― Albert
Einstein
Take very care of yourself, Ceu... *hugs*
ReplyDelete