Nature

1:42 PM Tameila 1 Comments

Memang tak mudah menemukan yang telah hilang. Atau mengenal yang belum diketahui.
Tapi jauh lebih sulit mendatangkan yang telah pergi di depan mata.

Setiap yang pergi pasti memiliki keengganan untuk tinggal. Dari padanya tak ada lagi hasrat untuk setia. Mungkin sudah merasa tak mendapat untung. Wajar saja. Setiap yang hidup ingin untung, toh? Ingin mendapat sesuatu dari pengorbanannya. Sejak kecil memang kita sudah diajarkan begitu. Kalau menerima sesuatu ucapkan terima kasih. Kita terbiasa untuk membalas.

Itu baik. Saya tak mengata itu adalah buruk. Tapi apakah kita bersiap diri untuk tidak menerima balik dari pada yang kita korbankan?

Saya masih percaya kodrat. Satu hal yang melekat pada suatu tercipta. Ia seperti sebuah peta menuju bilik tujuan. Di sana dapat kita temui jalan lengkap dengan rambunya. Bagaimana kalau ingkar? Apakah salah? Tidak. Tuhan bukan seperti barisan abu-abu di pinggir jalan protokol. Tak ada kata “tilang” pada-Nya.

Namun saya selalu punya ingin sendiri. Tatkala lampu menyala merah, harusnya berhenti. Tapi siapa yang hendak melarang? Jalan terus pun diperbolehkan. Ingat, tidak ada “tilang” di sini.

Jalan ini milik saya dan –Nya. Hanya kita berdua. Kalau tersesat, lihat lah rambu. Kalau tak mengerti, bertanya pada-Nya. Malu bertanya? Bukan sesat di jalan. Jalan sendiri. Karena selain “tilang”, kodrat pun tak mencatat kata “nyasar”. Setiap jalan yang ditempuh pasti memiliki ujung. Pasti sampai. Pertanyaannya, apakah itu tujuan awalnya?

Dalam perjalanan, ada kebebasan untuk menjadi siapa pun dan apa pun. Dengan begitu saya berganti-ganti wujud supaya tak dikenali. Suatu waktu saya menjadi A, di lain tempat rasanya berwujud B lebih cocok, atau saya bertransformasi C jika diperlukan. Ini bukan topeng karena saya tidak memasang dan melepasnya. A, B, C, dan lainnya datang dengan adanya. Mereka beradaptasi tanpa harus dikomandokan. Lalu, siapa yang setia meninggal pada diri? Masih yang merasa mendapat untung?

Nanti juga ada waktunya.

Ini semua hanya tentang saat dalam perjalanan.

Baiklah, saat ini saya menghenti melangkah. Saya terjemahkan apa yang ada di sekitar. Ternyata tampaknya berbeda dari saat saya berjalan. Awalnya yang tampak bias, kini menjadi lebih jelas. Siapa yang lama bersinggah, siapa yang hanya melewat. Siapa yang masih ada, siapa yang telah tiada. Siapa yang berubah, siapa yang menua dengan tetap sama.

Kodrat membuat saya bekerja. Sehingga seiring itu pergantian menjadi sesuatu yang biasa. Biasa karena harus, bukan karelaan. Karena rela datangnya dari dalam. Sedangkan ini datangnya dari luar. Dari jalan saya. Sebuah objek. Bukan dari diri saya. Sebuah subjek.

Tapi sering saya dengar perubahan pun bisa datang dari dalam. Ceritanya sebuah transformasi. Banyak saya perhatikan semuanya hanya menyisakan delusi. Kebahagiaan semu. Karena sesungguhnya yang mereka inginkan adalah situasi yang sama. Nyaman. Eh, salah, bukan semuanya. Sebagian besar. Atau hanya setengahnya. Aih, entah lah. Karena pembagi terhadapnya pun saya tak mengerti sebesar apa dan terhadap apa.

Pilihanmu di jalan hanya ada dua, kalau tidak disalip ya ditabrak.
Bagaimana dengan menabrak?”
Setolol-tololnya orang, nggak akan ada yang mau mencelakakan diri. Orang tolol itu masih punya akal. Dia bisa mikir cuma kapasitasnya kecil. Yang bunuh diri udah nggak punya akal, jadi dia lebih dari tolol.”
“Menabrak bukan sesuatu yang disengaja. Ia tak sengaja.”
Ada akal yang membuatmu tetap terjaga.”

Saya intip perbekalan di jok belakang sebelum kembali berjalan. Rupanya banyak yang telah habis. Harusnya saya isi ulang sebelum mati kelaparan. Atau hilang akal.

Saya harus kembali turun ke jalan. Jangan berlama di pinggir. Salah-salah nanti ditawar. Mesin telah panas menyala. Bukan untuk menyalip. Bukan untuk siap ditabrak. Tapi menuju kodrat. Di mana prosesnya harus menempatkan skeptisme terhadap setiap jawaban. Jangan asal mengamini. Alih-alih saya tersedot waktu.

“A human being is a part of the whole called by us universe, a part limited in time and space. He experiences himself, his thoughts and feeling as something separated from the rest, a kind of optical delusion of his consciousness. This delusion is a kind of prison for us, restricting us to our personal desires and to affection for a few persons nearest to us. Our task must be to free ourselves from this prison by widening our circle of compassion to embrace all living creatures and the whole of nature in its beauty.” ― Albert Einstein

You Might Also Like

1 comment: