Negasi

4:47 PM Tameila 0 Comments



negasi /ne·ga·si/ /négasi/ n penyangkalan; peniadaan; kata sangkalan (msl kata tidak, bukan)
(source: http://kbbi.web.id/negasi)

Dude, I wanna tell you something. Nggak semua yang berlawanan adalah negatif. “Tidak”, “Bukan”, “Lain”, “Beda”, itu benar. Hanya karena sesuatu tidak sama dengan kita, bukan berarti ia salah.

Should I do apologize for this late reply? Just so you know, gue terharu atas tulisan lo yang menstatuskan gue sebagai sarjana tenda biru. Masih bagus, jangan sampai gue bukti hidup dari lagu Tenda Biru. Amit-amit. *knock-the-wood* (eh tapi love story gue kan mirip-mirip gitu kan, ya? Cuma aja gue nggak lewat rumahnya. Eeaa~)

Dalam postingan itu lo me-mention banyak kesamaan di antara kita. Like really?
One thing for sure that I remember about you is we’re totally different each other. Okay, kita sama-sama suka ilmu pengetahuan, baca, menebar hati, badminton, dan diskusi hal-hal mesum. But you’re the one who always countered me back at that moment. Seluruh ide gue selalu dibantai sama lo. Dibunuh. Dijatuhkan. Dihina. And I love it! Dari sana gue belajar untuk menstandarkan sesuatu itu susah. Butuh effort. Tapi bukan berarti nggak mungkin.

Siang ini ceritanya gue mau nyantai ala hidup di Jogja dulu. Cabut dari kostan cuma berbekal novel ke café. Niatnya sih mau menikmati hari. Tapi semuanya bubar diawali dari “float”.

Gue bingung, emang nggak semua café itu ngerti ya sama “float”? Berbekal vocab Makassar dan style komunikasi yang pas-pasan (dua bulan di sini beberapa orang bilang cara ngomong gue udah mirip orang sini, cuy!), gue tanya, “mbak, ice coffee latte ini pakai float?”. Ngeliat tampang mbaknya yang bingung, gue menurunkan standar “float” menjadi krim. Even sebenarnya float itu bukan krim tapi gue masih berharap dia ngerti yang gue maksud. Eh, tapi masih nggak ngerti juga. Sampai gue akhirnya bilang gini, “itu loh mbak yang putih-putih seperti krim. Nanti ada di atas minumannya. Rasanya manis”. Then, si mbak mengangguk mengerti.

*exhale*

Nggak lama minuman yang gue pesan datang TARAAAA! Apa yang ada di atas ice coffee latte gue? BUSA! BUSA DARI SEDUHAN KOPI.

Gusti, Rabbi, Tuhan, Masya Allah…….
Adakah kata pengganti dari “float”?

Gue pikir “float” adalah kata umum yang seharusnya seluruh café itu ngerti. FYI café yang gue datengin ka-ta-nya café ter-hits seantero kota ini. Like dari 10 orang yang gue tanya café cozy, 10-nya menyebutkan café ini diurutan pertama. (gue jadi meragukan keabsahan hasil random sampling). TAPI FLOAT AJA NGGAK NGERTI, KIDDO! *nangistersungkur*

Baiklah, gue elus kening aja, secara elus dada udah mainstream. Kepala gue mulai senut-senut. Gue sedot itu kopi. And, glek~ ini-kopi-ala-café-atau-kopi-si-aa-depan-udan-emas? Tapi ya udah lah yaahh, gue telen aja itu minuman Rp26,000,-. Pulangnya gue nge-becak. Gue tanya teman kantor, standarnya bayar aja ceban buat sampai depan ke tempat taxi. Oke, deal. Eh, taunya ya Allah, itu kayak ngesot dari kostan gue ke kampus! Tau gitu gue kasih goceng aja, deh.

Kali ini yang gue elus adalah dompet.  Gue berjanji, pulang ke kostan nggak mau naek taxi. Gue mau belajar naek angkot. Dengan sok beraninya gue naek angkot. Umumnya, angkot dari situ pasti lewat jalan depan kostan gue.

“Cendrawasih?” tanya gue setengah berteriak.

Kata abangnya yes. Naik lah gue, dude. Duduk anteng gue di dalam. Tengok kanan-kiri ala lagu “Naik-Naik ke Puncak Gunung”. Eehh, tapi kok ini angkot belok ke jalan Rajawali which jalan yang bertolak belakang dengan jalan kostan gue. Mampus! Dengan setengah tengsin gue bisik-bisik dengan mbak sebelah gue, minta tolong bilangin abang angkotnya ngelewatin jalan depan kostan. Untung mbaknya baik tapi gue intip abangnya bête gitu sama gue gara-gara dia harus muter balik.

Yee, dari awal kan gue udah bilang mau ke jalan Cendrawasih”. Tenang, itu cuma gue suarakan dalam hati. Gue masih pengen selamat kok di kota ini.

Nggak lama gue diturunin di persimpangan. Dekat kostan sih tapi tetap aja gue harus jalan agak jauh. Hitung-hitung sauna juga sih, secara dongo-nya gue lupa bawa payung.

Duduk di kostan gue langsung buka laptop dan keingetan lo. Nggak tau kenapa setelah cerita sama mas patjar dan teman sekantor, gue pengen cerita sama lo. Mungkin karena lo salah satu orang yang menegasikan standar pemikiran gue. Sama halnya dengan kejadian hari ini. Semesta menyangkal kehidupan standar bagi gue. Ternyata nggak semua café tau istilah “float”. Ternyata nggak selamanya jarak segitu layak dibayar dengan goceng. Bahkan standar rute angkot pun bisa berubah.

Kemarin sore pun gue diskusi dengan salah satu manager gue. Gaya ngomongnya nggak mirip sama lo. But the way he interrupted my idea just like you did. Mungkin ini juga yang mengingatkan gue sama lo. Yaahh, there will always be something yang mengingatkan kita sama seseorang.

Well, senang rasanya masih bisa hidup sore ini. Masih bisa ngetik dan membalas tulisan Tenda Biru lo. Masih bisa menyadari bahwa kerinduan gue sama lo bukan karena kesamaan. Tapi karena lo yang selalu menjatuhkan pemikiran gue. Sampai akhirnya gue sadar kalau kesamaan standar bagi seluruh rakyat Indonesia adalah sesuatu yang utopis. Lihat aja demokrasi yang katanya suara rakyat sekarang jadi suara DPR. (loh loh kenapa jadi ngomongin Senayan?!)

Di awal gue bilang, hanya karena sesuatu tidak sama dengan kita bukan berarti ia salah. Dari lo, bro, gue belajar sakitnya dibantai. Gue berani untuk berpikir gila tapi tetap berbasis data. Halah, nggak usah mangkir, lo kan kalau ngomong sama gue selalu membeberkan fakta-fakta toh? Kapan kita bisa saling bunuh? Atau tukeran cerita jorok? Lo yang sumbernya dari penelitian ilmiah, gue yang sumbernya dari sastra. Just so you know, I have no many times to explore any literature again here. Ngaruh nggak sih makin ke timur waktu jalannya makin cepet? (my excuse).

I miss the moment we kill each other, dude!


NB: Kangen Hawwin juga yang sering ngerekomendasiin komik keren. Full of social issue tapi tetep aja jorok. Udah ngucapin happy birthday sama dia? Masih hidup kan doi?

You Might Also Like

0 comments: