Negasi
negasi /ne·ga·si/ /négasi/ n penyangkalan; peniadaan; kata sangkalan (msl kata tidak, bukan)
(source: http://kbbi.web.id/negasi)
Dude,
I wanna tell you something. Nggak semua yang berlawanan adalah negatif. “Tidak”,
“Bukan”, “Lain”, “Beda”, itu benar. Hanya karena sesuatu tidak sama dengan
kita, bukan berarti ia salah.
Should
I do apologize for this late reply? Just so you know, gue terharu atas tulisan
lo yang menstatuskan gue sebagai sarjana tenda biru. Masih bagus, jangan sampai
gue bukti hidup dari lagu Tenda Biru. Amit-amit. *knock-the-wood* (eh tapi love story gue kan mirip-mirip gitu
kan, ya? Cuma aja gue nggak lewat rumahnya. Eeaa~)
Dalam
postingan itu lo me-mention banyak kesamaan di antara kita. Like really?
One
thing for sure that I remember about you is we’re totally different each other.
Okay, kita sama-sama suka ilmu pengetahuan, baca, menebar hati, badminton, dan
diskusi hal-hal mesum. But you’re the one who always countered me back at that
moment. Seluruh ide gue selalu dibantai sama lo. Dibunuh. Dijatuhkan. Dihina. And
I love it! Dari sana gue belajar untuk menstandarkan sesuatu itu susah. Butuh effort.
Tapi bukan berarti nggak mungkin.
Siang
ini ceritanya gue mau nyantai ala hidup di Jogja dulu. Cabut dari kostan cuma
berbekal novel ke café. Niatnya sih mau menikmati hari. Tapi semuanya bubar
diawali dari “float”.
Gue
bingung, emang nggak semua café itu ngerti ya sama “float”? Berbekal vocab
Makassar dan style komunikasi yang pas-pasan (dua bulan di sini beberapa orang
bilang cara ngomong gue udah mirip orang sini, cuy!), gue tanya, “mbak, ice coffee latte ini pakai float?”.
Ngeliat tampang mbaknya yang bingung, gue menurunkan standar “float” menjadi
krim. Even sebenarnya float itu bukan krim tapi gue masih berharap dia ngerti
yang gue maksud. Eh, tapi masih nggak ngerti juga. Sampai gue akhirnya bilang
gini, “itu loh mbak yang putih-putih
seperti krim. Nanti ada di atas minumannya. Rasanya manis”. Then, si mbak
mengangguk mengerti.
*exhale*
Nggak
lama minuman yang gue pesan datang TARAAAA! Apa yang ada di atas ice coffee
latte gue? BUSA! BUSA DARI SEDUHAN KOPI.
Gusti,
Rabbi, Tuhan, Masya Allah…….
Adakah
kata pengganti dari “float”?
Gue
pikir “float” adalah kata umum yang seharusnya seluruh café itu ngerti. FYI café
yang gue datengin ka-ta-nya café ter-hits seantero kota ini. Like dari 10 orang
yang gue tanya café cozy, 10-nya menyebutkan café ini diurutan pertama. (gue jadi meragukan keabsahan hasil random
sampling). TAPI FLOAT AJA NGGAK NGERTI, KIDDO! *nangistersungkur*
Baiklah,
gue elus kening aja, secara elus dada udah mainstream. Kepala gue mulai
senut-senut. Gue sedot itu kopi. And, glek~ ini-kopi-ala-café-atau-kopi-si-aa-depan-udan-emas?
Tapi ya udah lah yaahh, gue telen aja itu minuman Rp26,000,-. Pulangnya gue
nge-becak. Gue tanya teman kantor, standarnya bayar aja ceban buat sampai depan
ke tempat taxi. Oke, deal. Eh, taunya ya Allah, itu kayak ngesot dari kostan
gue ke kampus! Tau gitu gue kasih goceng aja, deh.
Kali
ini yang gue elus adalah dompet. Gue berjanji,
pulang ke kostan nggak mau naek taxi. Gue mau belajar naek angkot. Dengan sok
beraninya gue naek angkot. Umumnya, angkot dari situ pasti lewat jalan depan
kostan gue.
“Cendrawasih?”
tanya gue setengah berteriak.
Kata
abangnya yes. Naik lah gue, dude. Duduk anteng gue di dalam. Tengok kanan-kiri
ala lagu “Naik-Naik ke Puncak Gunung”. Eehh, tapi kok ini angkot belok ke jalan
Rajawali which jalan yang bertolak belakang dengan jalan kostan gue. Mampus! Dengan
setengah tengsin gue bisik-bisik dengan mbak sebelah gue, minta tolong bilangin
abang angkotnya ngelewatin jalan depan kostan. Untung mbaknya baik tapi gue
intip abangnya bête gitu sama gue gara-gara dia harus muter balik.
“Yee, dari awal kan gue udah bilang mau ke
jalan Cendrawasih”. Tenang, itu cuma gue suarakan dalam hati. Gue masih
pengen selamat kok di kota ini.
Nggak
lama gue diturunin di persimpangan. Dekat kostan sih tapi tetap aja gue harus
jalan agak jauh. Hitung-hitung sauna juga sih, secara dongo-nya gue lupa bawa payung.
Duduk
di kostan gue langsung buka laptop dan keingetan lo. Nggak tau kenapa setelah
cerita sama mas patjar dan teman sekantor, gue pengen cerita sama lo. Mungkin karena
lo salah satu orang yang menegasikan standar pemikiran gue. Sama halnya dengan
kejadian hari ini. Semesta menyangkal kehidupan standar bagi gue. Ternyata nggak
semua café tau istilah “float”. Ternyata nggak selamanya jarak segitu layak
dibayar dengan goceng. Bahkan standar rute angkot pun bisa berubah.
Kemarin
sore pun gue diskusi dengan salah satu manager gue. Gaya ngomongnya nggak mirip
sama lo. But the way he interrupted my idea just like you did. Mungkin ini juga
yang mengingatkan gue sama lo. Yaahh, there will always be something yang
mengingatkan kita sama seseorang.
Well,
senang rasanya masih bisa hidup sore ini. Masih bisa ngetik dan membalas
tulisan Tenda Biru lo. Masih bisa menyadari bahwa kerinduan gue sama lo bukan
karena kesamaan. Tapi karena lo yang selalu menjatuhkan pemikiran gue. Sampai akhirnya
gue sadar kalau kesamaan standar bagi seluruh rakyat Indonesia adalah sesuatu
yang utopis. Lihat aja demokrasi yang katanya suara rakyat sekarang jadi suara
DPR. (loh loh kenapa jadi ngomongin
Senayan?!)
Di
awal gue bilang, hanya karena sesuatu tidak sama dengan kita bukan berarti ia
salah. Dari lo, bro, gue belajar sakitnya dibantai. Gue berani untuk berpikir
gila tapi tetap berbasis data. Halah, nggak usah mangkir, lo kan kalau ngomong
sama gue selalu membeberkan fakta-fakta toh? Kapan kita bisa saling bunuh? Atau
tukeran cerita jorok? Lo yang sumbernya dari penelitian ilmiah, gue yang
sumbernya dari sastra. Just so you know, I have no many times to explore any
literature again here. Ngaruh nggak sih makin ke timur waktu jalannya makin
cepet? (my excuse).
I
miss the moment we kill each other, dude!
NB:
Kangen Hawwin juga yang sering ngerekomendasiin komik keren. Full of social
issue tapi tetep aja jorok. Udah ngucapin happy birthday sama dia? Masih hidup
kan doi?
0 comments: