To: My Dearest Laugh Out Loud Girl.

9:35 PM Tameila 0 Comments

To : My dearest laugh out loud girl, Ayu Athinie Hazza Awlia.
From : Tameila.

Dear Ai,

Ada jeda yang cukup panjang sebelum gue memulai kalimat ini. Bukan karena gue bingung mau ngomong apa, tapi karena terlalu banyak yang ingin gue omongin. But then gue sadar kalau inti dari semuanya adalah gue masih belum percaya lo diperistri orang.

Sounds rude ya? “Diperistri orang”.

Well, gue nggak tau, entah guenya yang masih sentimen dengan urusan “komitmen” atau I still don’t get any concept of marriage. Terlepas dari itu semua, I am pretty sure very happy for you. Sakinah, mawadah, warahmah udah pasti include ke dalam do’a gue. Lalu apa? Yes, apa lagi yang harus gue lantunkan pada langit untuk sebuah rumah tangga di mana gue pun masih abu-abu dengannya?

Punya banyak anak? No. Jangan kebanyakan. Bagi-bagi space buat perawan yang belom nikah kayak gue. Nanti anak gue nggak kebagian oksigen.

Lancar jodoh? Udah nggak mungkin dong ya. Balik lagi, kalau jodoh lo lancar, nanti buat guenya mana? (Jodoh di otak gue >> cowok >> dijadiin pacar >> terus jadi suami. *wink*)

Berkah rejeki semua yang didapat? Amien.

Is that all? Yes, probably.

Gue masih ingat ketika lo bilang, “gue udah lamaran. Udah nentuin tanggal”. To be honest, gue nggak nganggap lo serius saat itu. Gue pikir lo cuma euforia dapat pacar baru, atau (mungkin) guenya yang terlalu skeptis dengan urusan “nikah muda”. However, keseriusan lo terbukti di suatu malam malam . Setelah sekian lama kita nggak ketemu, lo bilang, “sekitar dua minggu lagi gue nikah”.

WHAT THE HELL?!

Jujur gue nggak tau harus merespon seperti apa. Gue bahagia. Namun di saat yang bersamaan seperti ada yang hilang dari diri gue. Gue bukan tipe teman yang posesif. Tapi rasa kehilangan ini lebih berarti, “will we meet again?”. Karena gue tau, setelah nikah lo akan ke Jepang. Ikut dengan suami. Memulai kehidupan baru. Meniti sisa-sisa impian lo.

Impian. Khayalan.

Inget dulunya kita seneng banget ngekhayal? Di antara tumpukan kertas berwarna, lem, gunting, dan pernak-pernik nggak karuan buat majalah dinding sekolah. Pengennya punya suami begini lah, nanti kalau udah nikah pengennya begitu, terus kalau kerja maunya ini, bla bla bla. Wait, bukan cuma itu, kita juga hobi banget ketawa. Ngetawain apa aja yang bisa bikin rahang ini pegal sampai sakit kepala. Kadang gue suka nggak ngerti, apa sih yang nyambungin obrolan kita sampai nggak mau berhenti? Sampai ditegur satpam sekolah, dilihatin pelayan restoran, adzan maghrib, di-sms orang rumah supaya cepat pulang, dan sampai apa pun yang bikin kita ngomong, “gila udah lama juga ya? Dari jam berapa sih kita ngobrol?”.

Ajaib.

Sama ajaibnya dengan air mata yang muncul waktu gue dengar seruan “sah” di hari pernikahan lo. Apa yang membuat gue nangis? Entah lah. Sampai saat gue nulis ini pun masih nggak ngerti kenapa sudut-sudut mata gue basah.

Apa ini yang dimaksud dengan rasa-bahagia-yang-membuncah-di-atas-kebahagiaan-orang-lain?

Atau kah, sebuah perasaan maklum bahwa kita telah tumbuh?

Call me “stupid”, as the one who always likes flashing back. But I do really mean, kalau gue boleh memutar waktu sekali lagi, episode kita nge-gosip, nangis, ruwet, and all things we did together, nggak akan gue lewatin. Klise? Mungkin. Tapi dari sana gue belajar satu hal penting yang baru gue sadari saat mengetik kalimat ini, bahwa laughing is the best way to apologize your life mistakes.

Coba ikut flash back dengan gue, Ai. Apa sih yang mostly kita lakuin kalau ketemu? Ngetawain masa lalu kan? Kebodohan. Ngebahas luka dan air mata dengan lo nggak pernah terasa begitu menyakitkan. Semuanya jadi lucu. Tanpa gue sadari.

Ai,


Words can’t explain how happy I am for you. Never. My happiness is more than words, songs, tears, and greetings. It is near to every pray you whisper.

Kecup,
Tayank.

You Might Also Like

0 comments: