To: My Dearest Laugh Out Loud Girl.
To : My
dearest laugh out loud girl, Ayu Athinie Hazza Awlia.
From : Tameila.
Dear Ai,
Ada jeda
yang cukup panjang sebelum gue memulai kalimat ini. Bukan karena gue bingung
mau ngomong apa, tapi karena terlalu banyak yang ingin gue omongin. But then
gue sadar kalau inti dari semuanya adalah gue masih belum percaya lo diperistri
orang.
Sounds rude
ya? “Diperistri orang”.
Well,
gue nggak tau, entah guenya yang masih sentimen dengan urusan “komitmen” atau I
still don’t get any concept of marriage. Terlepas dari itu semua, I am pretty
sure very happy for you. Sakinah, mawadah, warahmah udah pasti include ke dalam
do’a gue. Lalu apa? Yes, apa lagi yang harus gue lantunkan pada langit untuk
sebuah rumah tangga di mana gue pun masih abu-abu dengannya?
Punya banyak
anak? No. Jangan kebanyakan. Bagi-bagi space buat perawan yang belom nikah
kayak gue. Nanti anak gue nggak kebagian oksigen.
Lancar
jodoh? Udah nggak mungkin dong ya. Balik lagi, kalau jodoh lo lancar, nanti
buat guenya mana? (Jodoh di otak gue >> cowok >> dijadiin pacar
>> terus jadi suami. *wink*)
Berkah
rejeki semua yang didapat? Amien.
Is that
all? Yes, probably.
Gue masih
ingat ketika lo bilang, “gue udah
lamaran. Udah nentuin tanggal”. To be honest, gue nggak nganggap lo serius
saat itu. Gue pikir lo cuma euforia dapat pacar baru, atau (mungkin) guenya
yang terlalu skeptis dengan urusan “nikah muda”. However, keseriusan lo
terbukti di suatu malam malam . Setelah sekian lama kita nggak ketemu, lo
bilang, “sekitar dua minggu lagi gue
nikah”.
WHAT
THE HELL?!
Jujur
gue nggak tau harus merespon seperti apa. Gue bahagia. Namun di saat yang
bersamaan seperti ada yang hilang dari diri gue. Gue bukan tipe teman yang
posesif. Tapi rasa kehilangan ini lebih berarti, “will we meet again?”. Karena gue tau, setelah nikah lo akan ke
Jepang. Ikut dengan suami. Memulai kehidupan baru. Meniti sisa-sisa impian lo.
Impian.
Khayalan.
Inget dulunya
kita seneng banget ngekhayal? Di antara tumpukan kertas berwarna, lem, gunting,
dan pernak-pernik nggak karuan buat majalah dinding sekolah. Pengennya punya
suami begini lah, nanti kalau udah nikah pengennya begitu, terus kalau kerja
maunya ini, bla bla bla. Wait, bukan cuma itu, kita juga hobi banget ketawa. Ngetawain
apa aja yang bisa bikin rahang ini pegal sampai sakit kepala. Kadang gue suka
nggak ngerti, apa sih yang nyambungin obrolan kita sampai nggak mau berhenti? Sampai
ditegur satpam sekolah, dilihatin pelayan restoran, adzan maghrib, di-sms orang
rumah supaya cepat pulang, dan sampai apa pun yang bikin kita ngomong, “gila udah lama juga ya? Dari jam berapa sih
kita ngobrol?”.
Ajaib.
Sama ajaibnya
dengan air mata yang muncul waktu gue dengar seruan “sah” di hari pernikahan lo. Apa yang membuat gue nangis? Entah lah.
Sampai saat gue nulis ini pun masih nggak ngerti kenapa sudut-sudut mata gue
basah.
Apa ini
yang dimaksud dengan rasa-bahagia-yang-membuncah-di-atas-kebahagiaan-orang-lain?
Atau kah,
sebuah perasaan maklum bahwa kita telah tumbuh?
Call me
“stupid”, as the one who always likes flashing back. But I do really mean,
kalau gue boleh memutar waktu sekali lagi, episode kita nge-gosip, nangis,
ruwet, and all things we did together, nggak akan gue lewatin. Klise? Mungkin. Tapi
dari sana gue belajar satu hal penting yang baru gue sadari saat mengetik
kalimat ini, bahwa laughing is the best way to apologize your life mistakes.
Coba ikut
flash back dengan gue, Ai. Apa sih yang mostly kita lakuin kalau ketemu?
Ngetawain masa lalu kan? Kebodohan. Ngebahas luka dan air mata dengan lo nggak
pernah terasa begitu menyakitkan. Semuanya jadi lucu. Tanpa gue sadari.
Ai,
Words can’t explain how happy I am for you. Never. My happiness is more than words, songs, tears, and greetings. It is near to every pray you whisper.
Kecup,
Tayank.
Tayank.
0 comments: