"Nggak usah dibahas..."
Tau nggak prinsip, “what
happened there, stays there”? Pertama kali gue dengar itu, gue langsung
suka. Licik, smart, dan nggak ribet. Belum lagi kalau nilai pegangan itu
ditambahin, “some things better not to be
talked or even asked”. Rasanya setiap urusan selesai dalam satu waktu dan
saat itu juga. Kita nggak perlu pusing nerawang ini-itu sebelum tidur. Mikirin konsekuensi
dari setiap dosa yang telah kita perbuat. Nggak usah lagi bikin plan A, B, C,
kalau emang udah kejadian ya udah. Beres. Selesai. Ringkes.
But then, gue mikir lagi, kalau setiap orang bentukannya
begitu, bumi ini nggak cuma penuh dengan polusi, tapi juga tanda tanya. Akan ada
banyak urusan yang nggak selesai tuntas, orang-orang dengan hati ngegerunek, dan misteri-misteri yang
butuh jawaban. Halah, simply said, unfinished business. Entah emang dosa gue yang
overload atau gimana, akhir-akhir ini gue selalu bersinggungan dengan hal-hal
bertemakan “unfinished business”. Mungkin juga kali ya gue orang yang seneng
ngegantungin masalah (karena ngegantungin gebetan jaman sekarang is too
mainstream, bro sist!) atau gue adalah orang yang demen lari dari masalah?
Beberapa waktu silam (biar kesannya udah lawas banget), gue
ditampol dengan bapaknya teman gue. Nggak literally pipi gue ditabok, tapi
omongannya si om ngena banget ke gue. Begini katanya, “mau sampai kapan kamu lari? Kabur-kaburan terus, nggak capek? Semua masalah
itu bentuknya sama, emang kalau kamu pergi dari sini, di sana kamu nggak
bakalan nemu masalah yang sama?”.
Buat otak yang RAM-nya kudu di-upgrade, jelas aja dibilang
begitu gue berasa kayak komputer yang diinstal ulang. Gue diam, gue refleksi ke
diri gue. Emang benar gue adalah pribadi yang lari dari masalah? Udah lari ke
mana aja dan sejauh mana sih gue ini? Secemen apa emangnya gue sampai dinilai “orang
yang lari dari masalah”?
Akhirnya, sejak detik itu juga gue memutuskan untuk melek
sebener-benernya melek. Gue buka mata gue dan mencoba see the bright side. Tapi
dasarnya emang mental gue masih selembek tahu, (ah nggak, gue manusiawi kok
<< excuse, saudara-saudara!) gue masih aja cengeng, takut, dan nggak bisa
move on. Kayaknya nggak ada gitu sesuatu yang tampak positif, apalagi bersinar.
Surem. Gelap.
Seperti bisa membaca pikiran gue, si om melanjutkan, “talk about it. Keluarkan apa yang kamu
rasakan. Bilang aja. Nggak usah takut untuk ngomong kalau emang itu bisa bikin
kamu lebih baik.”
DYAR! Sangat berkebalikan dari prinsip yang telah gue pegang
selama ini, “what happened there, stays
there”.
“Jadi gue harus
ngungkit-ngungkit masa lalu gitu?!” itu pertanyaan miring yang langsung
muncul di kepala gue. Masalahnya lagi (ya ini emang ribetnya Gemini, masalah
satu belum selesai selalu memunculkan probabilitas yang akhirnya jadi boundary
dia sendiri), gue percaya kalau komunikasi bukan lah panasea alias obat mujarab
untuk menyelesaikan masalah. Yaahh, setidaknya itulah salah satu prinsip ilmu
komunikasi yang gue dapet di kelas Pengantar Ilmu Komunikasi.`
Biar gimana juga, Tuhan emang membolak-balikkan hati
manusia. Eh akhirnya, hati gue melengos juga tuh. Gue ngomong. Gue bicara. Gue keluarin
apa yang gue rasain. Hasilnya? Plong, saudaraaaa~ *standing applause*
Ternyata, ketakutan ini bukan hanya dirasakan sama gue (iya
lah, lo pikir di dunia ini lo hidup sendirian!). Suatu malam gue dapat telefon,
and someone said, “aku mau tanya ini dan
denger jawaban kamu supaya aku tenang. Awalnya aku nggak mau ngomongin ini,
tapi semenjak kemarin aku nggak tenang. Nggak ada maksud apa-apa dan jawaban
kamu nggak akan mengubah apa pun. Aku cuma mau ngomong dan denger jawaban kamu.
Udah, itu aja”.
Coba kalian pikir, kalau emang jawaban gue nggak akan
berdampak apa-apa, terus ngapain itu orang nelfon dan mengajukan sebuah
pertanyaan. Nggak perlu gue tulis apa pertanyaannya, but just think untuk apa
kita melakukan sesuatu yang pada akhirnya nggak akan mengubah apa pun?
*shot*
You’re wrong! Ternyata jawaban gue mengubah segalanya (at
least itu lah yang gue rasain sekarang). Hubungan gue dan orang itu jadi lebih
baik. Meski hubungan kita nggak seperti dulu karena udah terlanjur cedera, tapi
kita menjadi lebih bebas. Nggak ada lagi gap yang selalu kita anggap nggak ada
padahal itu benar-benar membatasi kita. Mungkin ini adalah hikmah Ramadhan yang
berujung di hari fitri, di mana kita harus saling memaafkan. Entah lah.
Nggak lama setelah itu, gue dapat kabar kalau seorang teman
hubungannya lagi nggak baik dengan mantannya. Pengennya kita sih mereka ketemu
dan duduk bareng buat ngobrol. Itung-itung kan pahala tuh nyambungin lagi tali
silaturahmi. Tapi akhirnya kedua pihak masih ogah-ogahan untuk ketemu. Alasannya,
gengsi. Bisa ditebak, kalau udah gengsi urusannya paling ujung-ujungnya
berkelit dengan, “ya udah sih nggak usah
dibahas. Udah lewat, udah lalu”.
Emang sih bener urusan kalian udah lewat, udah berlalu. Udah
selesai.
Wait, selesai?
Mungkin. Tergantung definisi kalian terhadap kata “selesai”
sih. Kalau buat gue, “selesai” itu ya selesai. Tuntas. Beres. Nggak ada
prasangka. Nggak ada pertanyaan. Clear. Jelas. Nggak ngegantung. Sama-sama tau.
Sama-sama enak. Sama-sama paham. SAMA-SAMA NGGAK NGAREP SAMA SESUATU YANG NGGAK
BAKALAN DIDAPET. #ups
0 comments: