Out Of My Mind
Kalau kata orang Serang (atau orang Sunda) sih judul di atas
sebutannya “nggak keharti”. Simply,
maksudnya gagal paham. Nah, biar nggak begitu kita seharusnya melihat sesuatu
dari sudut pandang orang lain. Try to understand someone’s perspective lha. That’s
why gue sangat menerima ketika membaca pepatah yang bunyinya kira-kira begini, “put your feet in someone’s shoes to know
what they’ve been through”.
Sukses dengan pepatah itu membuat rasa empati gue tumbuh. Lumayan
lha ya, gue yang dulunya sebodok amat jadi agak-agak empati. Biar pun masih di
level “agak-agak”, setidaknya empati gue mulai aktif.
But then gue sadar ternyata nggak semua case or something
happened dalam hidup orang lain bisa kita pahami. Misalnya begini, suatu hari
teman gue cerita panjang lebar. Intinya sih dia cerita kalau pada suatu waktu ada
cewek-cowok yang bercandaan sampai buka baju. Wait, jangan dibayangin bugil
dua-duanya, cuma si cowoknya kok yang topless.
Sejenak gue mikir, gimana caranya mereka bercandaan sampai
si cowoknya topless begitu?
Saat itu gue sih nyengir-nyengir aja, tapi otak gue masih
loading nih. Jujur, gue nggak ngerti gimana caranya bercandaan seperti itu. Nah,
karena kemampuan mengkhayal gue nggak nyampe, gue tanya lah ke beberapa teman
kampus. Gue nanya, “eh lo kebayang nggak
sih gimana bercandaan tapi sampe lawan bercanda lo buka baju?”.
Respon teman-teman gue beragam. Ada yang cuma mengerutkan
kening, ada juga yang kebingungan terus ujung-ujungnya, “begini kali, Ta, mereka ketawa-ketawa terus kegerahan ya udah buka baju
deh” sambil diperagain dengan konyol lagi buka bajunya. Akhirnya, sampai gue
mudik nih, gue tanyain sama sahabat gue di Serang. Dia kuliah di Jakarta. Gue pikir
kan ya, kali aja anak Jakarta nih logikanya lebih nyampe.
“Gue mau nanya dong, jadi gini temen gue tuh cewek-cowok. Mereka bercandaan tapi sampe si lakinya topless. Dari kemarin-kemarin gue nggak kebayang, lo kebayang nggak?” tanya gue polos tanpa tendensi apa pun.
Teman gue mengernyit. “Becandaan gaya apa tuh, Ta?”
“Lo nanya balik ke gue? Kalau gue tau, gue nggak akan nanya sama lo”.
Teman gue cuma garuk-garuk kepala. “Aduh, gue nggak kebayang, Ta. Seumur-umur gue nonton American Pie dan film-film barat juga nggak ada kayaknya adegan begitu. Gimana, ya? Canggih banget”.
“Jadi lo nggak kebayang?”
“Kagak, Ta. Nggak kenalar sama gue. Nggak nyampe otak gue ngebayangin begitu”.
And now gue give up untuk memaklumi kejadian “bercandaan-sampai-topless”
itu. Masalahnya, fenomena tersebut nggak sampai ke nalar gue, seperti yang
teman gue katakan. Sebelum gue benar-benar angkat tangan, gue berusaha untuk
merefleksikan omongan gue ke seseorang beberapa malam lalu. Gue bilang, “nggak semuanya untuk lo pahami harus tau
dari mulut orang lain. Sometimes lo harus ngerasain atau terjun sendiri untuk
paham”.
Akhirnya gue mencoba tenang dan meruntut benang merah. Gue mulai
memahami sudut pandang si laki-laki, kondisi si perempuan, dan suasana yang
memungkinkan untuk membentuk “bercandaan-sampai-topless”. Mungkin kalian
bertanya, ngapain sih gue repot-repot memposisikan diri sebagai mereka?
Jawabannya sederhana, gue cuma pengen memahami sesuatu yang nggak gue pahami
dengan cara yang baik. Dosa gue ini udah banyak, daripada gue negative thinking
kan lebih baik gue effort dikit biar dapet perspektif baru yang lebih baik.
Semenit. Dua menit. Sejam. Lima jam. Sehari. Seminggu. Sebulan.
Sampai gue mudik, dan sekarang duduk memangku laptop masih belum mampu
menempatkan kaki gue di sepatu mereka. Gue masih nggak paham.
Sedih? Not really. Confused? Yes!
Pasalnya, gue udah muluruhkan “ke-aku-an” gue untuk memahami
kondisi mereka berdua, tapi tetap nggak bisa.
Hands up.
Mungkin di sini lah harusnya gue mulai sadar kalau emang se-empati
apa pun kita nggak akan pernah bisa merasakan persis apa yang orang lain alami.
Dari situ kita nggak bisa men-judge orang seenaknya. Begini lah. Begitu lah. Ya
karena itu tadi, kita nggak ngerti apa yang udah dilalui orang itu. Di sisi
lain, nggak berarti juga kita bisa semena-mena ke orang lain karena mereka
nggak ngerti yang kita alami. So we hide the fact supaya bisa seenaknya ke
mereka.
No!
Simply, misalnya lo sakit hati gara-gara seseorang (let say
lo digantungin alias di-PHP-in), terus dengan begitu lo bisa melakukan tindak
yang sama ke orang lain? Nggak tau sih ya, kalau gue sih sekarang melihat
perilaku itu nggak mature aja. Hanya karena lo cedera dalam perlombaan lari
yang lo lakonin, apakah orang lain harus terkilir juga? I don’t think so. Lo
yang sakit hati kok terus lo bikin orang lain sakit hati juga? Pernah nggak
mikir, orang yang lo jadiin korban juga mungkin pernah merasakan yang sama
kayak lo tapi mereka lebih bijak untuk nggak menularkan rasa sakit itu ke lo?
Think about it, kita nggak pernah tau apa yang udah orang lain laluin, meski
pun mereka pada akhirnya menceritakan kepada kita. Never ever kita mampu
merasakan hal yang sama!
So then, I realize kalau gue sebagai manusia nggak
sepatutnya menyamaratakan tindakan gue ke semua orang. Bukan berarti bermuka
dua, tapi gue sadar kalau setiap harinya kita tumbuh dengan akumulasi
pengalaman yang berbeda-beda hingga membentuk diri yang sekarang. Kalau sudah
begitu, pantas kah kita memperlakukan orang dengan cara yang sama? Perlu
dipahami kalau sama itu nggak berarti adil, tapi adil itu (buat gue sih)
menempatkan sesuatu sesuai porsinya. Dengan demikian, seseorang akan merasa
dihakimi atau tidak diacuhkan dapat kita minimalisasi.
Pengalaman seseorang adalah sesuatu yang akan selalu berada
di luar nalar kita karena berhubungan dengan perasaan di dalamnya. Tapi biar
begitu, jujur gue masih penasaran lho gimana sih caranya bercandaan sampai
lawan bercanda lo buka baju? Somebody help me!
0 comments: