Out Of My Mind

1:04 AM Tameila 0 Comments

Kalau kata orang Serang (atau orang Sunda) sih judul di atas sebutannya “nggak keharti”. Simply, maksudnya gagal paham. Nah, biar nggak begitu kita seharusnya melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain. Try to understand someone’s perspective lha. That’s why gue sangat menerima ketika membaca pepatah yang bunyinya kira-kira begini, “put your feet in someone’s shoes to know what they’ve been through”.

Sukses dengan pepatah itu membuat rasa empati gue tumbuh. Lumayan lha ya, gue yang dulunya sebodok amat jadi agak-agak empati. Biar pun masih di level “agak-agak”, setidaknya empati gue mulai aktif.

But then gue sadar ternyata nggak semua case or something happened dalam hidup orang lain bisa kita pahami. Misalnya begini, suatu hari teman gue cerita panjang lebar. Intinya sih dia cerita kalau pada suatu waktu ada cewek-cowok yang bercandaan sampai buka baju. Wait, jangan dibayangin bugil dua-duanya, cuma si cowoknya kok yang topless.

Sejenak gue mikir, gimana caranya mereka bercandaan sampai si cowoknya topless begitu?
Saat itu gue sih nyengir-nyengir aja, tapi otak gue masih loading nih. Jujur, gue nggak ngerti gimana caranya bercandaan seperti itu. Nah, karena kemampuan mengkhayal gue nggak nyampe, gue tanya lah ke beberapa teman kampus. Gue nanya, “eh lo kebayang nggak sih gimana bercandaan tapi sampe lawan bercanda lo buka baju?”.

Respon teman-teman gue beragam. Ada yang cuma mengerutkan kening, ada juga yang kebingungan terus ujung-ujungnya, “begini kali, Ta, mereka ketawa-ketawa terus kegerahan ya udah buka baju deh” sambil diperagain dengan konyol lagi buka bajunya. Akhirnya, sampai gue mudik nih, gue tanyain sama sahabat gue di Serang. Dia kuliah di Jakarta. Gue pikir kan ya, kali aja anak Jakarta nih logikanya lebih nyampe.

Gue mau nanya dong, jadi gini temen gue tuh cewek-cowok. Mereka bercandaan tapi sampe si lakinya topless. Dari kemarin-kemarin gue nggak kebayang, lo kebayang nggak?” tanya gue polos tanpa tendensi apa pun.
Teman gue mengernyit. “Becandaan gaya apa tuh, Ta?”
Lo nanya balik ke gue? Kalau gue tau, gue nggak akan nanya sama lo”.
Teman gue cuma garuk-garuk kepala. “Aduh, gue nggak kebayang, Ta. Seumur-umur gue nonton American Pie dan film-film barat juga nggak ada kayaknya adegan begitu. Gimana, ya? Canggih banget”.
Jadi lo nggak kebayang?”
Kagak, Ta. Nggak kenalar sama gue. Nggak nyampe otak gue ngebayangin begitu”.

And now gue give up untuk memaklumi kejadian “bercandaan-sampai-topless” itu. Masalahnya, fenomena tersebut nggak sampai ke nalar gue, seperti yang teman gue katakan. Sebelum gue benar-benar angkat tangan, gue berusaha untuk merefleksikan omongan gue ke seseorang beberapa malam lalu. Gue bilang, “nggak semuanya untuk lo pahami harus tau dari mulut orang lain. Sometimes lo harus ngerasain atau terjun sendiri untuk paham”.

Akhirnya gue mencoba tenang dan meruntut benang merah. Gue mulai memahami sudut pandang si laki-laki, kondisi si perempuan, dan suasana yang memungkinkan untuk membentuk “bercandaan-sampai-topless”. Mungkin kalian bertanya, ngapain sih gue repot-repot memposisikan diri sebagai mereka? Jawabannya sederhana, gue cuma pengen memahami sesuatu yang nggak gue pahami dengan cara yang baik. Dosa gue ini udah banyak, daripada gue negative thinking kan lebih baik gue effort dikit biar dapet perspektif baru yang lebih baik.

Semenit. Dua menit. Sejam. Lima jam. Sehari. Seminggu. Sebulan. Sampai gue mudik, dan sekarang duduk memangku laptop masih belum mampu menempatkan kaki gue di sepatu mereka. Gue masih nggak paham.

Sedih? Not really. Confused? Yes!

Pasalnya, gue udah muluruhkan “ke-aku-an” gue untuk memahami kondisi mereka berdua, tapi tetap nggak bisa.

Hands up.

Mungkin di sini lah harusnya gue mulai sadar kalau emang se-empati apa pun kita nggak akan pernah bisa merasakan persis apa yang orang lain alami. Dari situ kita nggak bisa men-judge orang seenaknya. Begini lah. Begitu lah. Ya karena itu tadi, kita nggak ngerti apa yang udah dilalui orang itu. Di sisi lain, nggak berarti juga kita bisa semena-mena ke orang lain karena mereka nggak ngerti yang kita alami. So we hide the fact supaya bisa seenaknya ke mereka.

No!

Simply, misalnya lo sakit hati gara-gara seseorang (let say lo digantungin alias di-PHP-in), terus dengan begitu lo bisa melakukan tindak yang sama ke orang lain? Nggak tau sih ya, kalau gue sih sekarang melihat perilaku itu nggak mature aja. Hanya karena lo cedera dalam perlombaan lari yang lo lakonin, apakah orang lain harus terkilir juga? I don’t think so. Lo yang sakit hati kok terus lo bikin orang lain sakit hati juga? Pernah nggak mikir, orang yang lo jadiin korban juga mungkin pernah merasakan yang sama kayak lo tapi mereka lebih bijak untuk nggak menularkan rasa sakit itu ke lo? Think about it, kita nggak pernah tau apa yang udah orang lain laluin, meski pun mereka pada akhirnya menceritakan kepada kita. Never ever kita mampu merasakan hal yang sama!

So then, I realize kalau gue sebagai manusia nggak sepatutnya menyamaratakan tindakan gue ke semua orang. Bukan berarti bermuka dua, tapi gue sadar kalau setiap harinya kita tumbuh dengan akumulasi pengalaman yang berbeda-beda hingga membentuk diri yang sekarang. Kalau sudah begitu, pantas kah kita memperlakukan orang dengan cara yang sama? Perlu dipahami kalau sama itu nggak berarti adil, tapi adil itu (buat gue sih) menempatkan sesuatu sesuai porsinya. Dengan demikian, seseorang akan merasa dihakimi atau tidak diacuhkan dapat kita minimalisasi.

Pengalaman seseorang adalah sesuatu yang akan selalu berada di luar nalar kita karena berhubungan dengan perasaan di dalamnya. Tapi biar begitu, jujur gue masih penasaran lho gimana sih caranya bercandaan sampai lawan bercanda lo buka baju? Somebody help me!

You Might Also Like

0 comments: