Medicine

2:30 AM Tameila 1 Comments

Malam ini saya dilarang mabuk.
Jangan mabuk lagi, ya”, ujarnya santai.
Bajingan. Dia yang pertama menawarkan anggur dan sekarang menyuruh saya untuk menahan diri agar tidak mabuk? Kurang ajar. Tapi memang itu lah dia, tidak pernah bertanggung jawab. Terakhir saya berurusan dengannya, dia pun begitu. Tidak bertanggung jawab. Pergi begitu saja. Dan sekarang dia beraninya menyuruh saya untuk menahan diri dari apa yang telah dia tawarkan. Apa-apaan!
Saya memandangnya datar.
No hard feeling right?”
Yes, that’s right. NO-HARD-FEELING! But, pardon me, may I add a sentence more?
Yes, no hard feeling, because I use to play this game”. Saya tersenyum satir.
Oh come on, I’m sorry. You’re the one that makes me guilty”.
Saya meneguk cokelat dingin yang sesaat mulai mencair. Enggan untuk merespon.
No. Not only you. There’s another one. But, for sure, I’m sorry”.
You see? I know, I’m not the only one. “Don’t be that sorry. I’m okay”.
“I know you’re strong enough”.
Of course I am! But just because you think I’m strong, then you can come and go like this way? “You know, you’re loser”.
I know that. I just…I wasn’t ready at that moment”.
“So why you decided to be with me? Why you took me into your life?” tanya saya.
Dia diam. Masih tersungging senyum. Entah lah itu senyum apa, saya malas memprediksi apa pun di antara kita. Terlalu banyak prediksi, judgement, prejudice hanya membuat kita semakin jauh. Semakin sulit untuk memahami apa yang terjadi secara sederhana.
So let me ask you,” lanjut saya, “did you really love me? Were you just comfort with me? Or you just wanted to heal yourself?”
That’s all,” dia mengacungkan telunjuknya dengan semangat tepat di depan hidung saya, “that’s all!” dia mengulangi.
Saya mengernyit.
"Itu semua alasannya,” dia menunduk dan memainkan ujung sedotan, “you were that everything. I loved you, I was so comfort with you, and you could heal me. But I need someone beside me, and you weren’t there.”
“You didn’t need me anyway. You just needed someone beside you”.
“Yes, I know. And one thing that I remember, you used to say ‘I am not a medicine’”.
Saya diam dan tersenyum dalam hati. Masih ingat saja dia dengan statement saya itu. Rupanya terpatri dengan kuat. Apakah itu pula yang menjadi alasannya ketika meninggalkan saya? Indeed”, balas saya pendek.
Kami diam. Detik itu juga saya tersedot ke masa lalu, di mana saya pun ragu untuk memulai sesuatu yang tidak lagi saya percayai. A commitment. With him. Two things that couldn’t work together. That’s what I thought, but in the end I tried. And the result? You may guess. Yes, it was mess. Bukan saya yang mengacaukannya, tapi dia. Saya sudah bekerja dan berusaha untuk menyisir apa yang membuat ragu. Saya sudah menutup mata betapa sama namun berbedanya kita. Sama-sama takut untuk memulai, tapi saya mau berusaha dan dia tidak. Saya mau berjuang dan dia tidak. Saya mau mengalah dan dia tidak.
I was so confused at that moment! I was healing myself with you, and suddenly she came again, again, and again. I was so damn-confused. It’s like I was taking a medicine, but I turned to take another drugs…”
“And now you’re sitting here, taking that medicine?” tanya saya memotongnya.
"Yes”.
Beruntung sekali ya jadi dia? Dia bisa “berobat” kapan pun dia mau.
Yes, now I’m sitting here in front of you. Just like taking my medicine”.
FUCK! I-AM-NOT-A-MEDICINE! Apa sih yang ada di otaknya? Dia pikir semua orang yang “kelihatannya” kuat itu nggak punya perasaan? Hello, even Superman has a right to bleed!
Saya memandangnya lagi. Lebih dalam. Masuk ke dalam jiwa lewat pintu matanya. I don’t know what is it? Do I still love him? No. So why am I not angry?
Lama.
Lama.
Lama.
Akhirnya saya sadar, kalau saya kecanduan rasa sakit atas nama cinta. Apakah kalian tahu kalau dalam hidup ini kita akan selalu bersinggungan dengan rasa sakit untuk mendapatkan kebahagiaan? Sederhananya, rasa syukur. Coba kita bandingkan, lebih manis syukur yang mana, yang diperoleh langsung dari kebahagiaan atau dari senyum sesudah tangis? Buat saya, pilihan kedua adalah yang paling mengena.
Saya mulai melihat ke sekeliling. Orang-orang yang bahagia karena telah berkorban atas nama cinta. Para ibu yang berusaha menghadirkan bayi-bayinya ke dunia. Para ayah yang rela bertahan di bawah tekanan kerjaan. Para istri yang sedianya tetap tersenyum untuk menunjukkan betapa berbaktinya dia, betapa inginnya membuat suami mereka merasa dihargai. Para pacar yang rela melakukan hal tolol di luar logika. Para murid yang memenuhi harapan gurunya telah berhasil mendidik mereka. Dan semua pribadi yang rela melepas ambisinya demi mendengar kalimat, “I’m proud of you” dari orang-orang terdekatnya, padahal seberapa jauh orang-orang itu paham kebanggaan sebenarnya bagi si pribadi tersebut. Mereka adalah orang-orang kuat, orang-orang yang mampu mengkompensasikan sakitnya kepada kebahagiaan orang lain, dengan begitu mereka tidak menyalahkan cinta atas kekecewaannya. Mereka pun tidak haus penghargaan atas pengorbanannya.
Am I masochist?
Saya merinding ketika pertanyaan itu muncul dengan sendirinya dalam hati. Apakah benar saya membutuhkan rasa sakit agar mampu bahagia, bersyukur, dan merasakan cinta?
Love doesn’t have to hurt, to feel good..it’s such a revelation”, itu adalah petikan lagu Attomic Kitten yang berjudul “Love Doesn’t Have To Hurt”. Feeling. Love is about feeling. Perasaan. Lalu apa jadinya kalau saya sudah mati rasa? Bukan. Saya kebingungan dengan perasaan saya hingga saya memainkannya dengan otak. Saya hadirkan perasaan itu, saya mainkan, saya kuatkan, saya beri ruh. Terus saya rasakan hingga benar-benar menyentuh ke dasar hati. Jika memang benar menyakitkan, maka akan saya hadirkan lagi visualisasi yang menyenangkan untuk perlahan menyurutkan rasa sakit itu, hingga akhirnya saya merasa bahagia. Ya, begitu lah saya menghadirkan perasaan yang sudah bingung lagi bagaimana saya harus merasakannya.
Yes, you’re a masochist.
Mungkin benar, saya membutuhkan rasa sakit untuk merasakan cinta. Tapi satu hal, saya tidak membutuhkan obat dari orang lain untuk menyembuhkannya. Saya yang menghadirkan rasa sakit, saya yang menciptakan penawarnya. Kini saya mengerti, pantas saya tidak pernah marah kepadanya KARENA SAYA MENIKMATI RASA SAKIT ITU.
Is that we called as nothing to lose? Cinta putih? Cinta yang tak menuntut balas?
Persetan dengan semua term. Saya menikmati ini. It’s a dangerous game, I know. But you started it, and allow me to push the start button.
Don’t choose 'start', you have ‘option’ button”, ujarnya ringan.
Masih sempat bercanda dia! “Well sorry, the ‘option’ button is broken. Sometime you only have one choice. Play it!”

You Might Also Like

1 comment: