Medicine
Malam ini saya dilarang mabuk.
“Jangan mabuk lagi, ya”,
ujarnya santai.
Bajingan. Dia yang pertama menawarkan anggur dan sekarang
menyuruh saya untuk menahan diri agar tidak mabuk? Kurang ajar. Tapi memang itu
lah dia, tidak pernah bertanggung jawab. Terakhir saya berurusan dengannya, dia
pun begitu. Tidak bertanggung jawab. Pergi begitu saja. Dan sekarang dia
beraninya menyuruh saya untuk menahan diri dari apa yang telah dia tawarkan. Apa-apaan!
Saya memandangnya datar.
“No hard feeling
right?”
Yes, that’s right. NO-HARD-FEELING! But, pardon me, may I
add a sentence more?
“Yes, no hard feeling,
because I use to play this game”. Saya tersenyum satir.
“Oh come on, I’m
sorry. You’re the one that makes me guilty”.
Saya meneguk cokelat dingin yang sesaat mulai mencair. Enggan
untuk merespon.
“No. Not only you.
There’s another one. But, for sure, I’m sorry”.
You see? I know, I’m not the only one. “Don’t be that sorry. I’m okay”.
“I know you’re strong
enough”.
Of course I am! But just because you think I’m strong, then
you can come and go like this way? “You
know, you’re loser”.
“I know that. I just…I
wasn’t ready at that moment”.
“So why you decided to
be with me? Why you took me into your life?” tanya saya.
Dia diam. Masih tersungging senyum. Entah lah itu senyum
apa, saya malas memprediksi apa pun di antara kita. Terlalu banyak prediksi,
judgement, prejudice hanya membuat kita semakin jauh. Semakin sulit untuk memahami
apa yang terjadi secara sederhana.
“So let me ask you,”
lanjut saya, “did you really love me?
Were you just comfort with me? Or you just wanted to heal yourself?”
“That’s all,” dia
mengacungkan telunjuknya dengan semangat tepat di depan hidung saya, “that’s all!” dia mengulangi.
Saya mengernyit.
"Itu semua alasannya,”
dia menunduk dan memainkan ujung sedotan, “you were that everything. I loved you, I was so comfort with you, and
you could heal me. But I need someone beside me, and you weren’t there.”
“You didn’t need me
anyway. You just needed someone beside you”.
“Yes, I know. And one
thing that I remember, you used to say ‘I am not a medicine’”.
Saya diam dan tersenyum dalam hati. Masih ingat saja dia
dengan statement saya itu. Rupanya terpatri dengan kuat. Apakah itu pula yang
menjadi alasannya ketika meninggalkan saya? “Indeed”, balas
saya pendek.
Kami diam. Detik itu juga saya tersedot ke masa lalu, di
mana saya pun ragu untuk memulai sesuatu yang tidak lagi saya percayai. A
commitment. With him. Two things that couldn’t work together. That’s what I
thought, but in the end I tried. And the result? You may guess. Yes, it was
mess. Bukan saya yang mengacaukannya, tapi dia. Saya sudah bekerja dan berusaha
untuk menyisir apa yang membuat ragu. Saya sudah menutup mata betapa sama namun
berbedanya kita. Sama-sama takut untuk memulai, tapi saya mau berusaha dan dia
tidak. Saya mau berjuang dan dia tidak. Saya mau mengalah dan dia tidak.
“I was so confused at
that moment! I was healing myself with you, and suddenly she came again, again,
and again. I was so damn-confused. It’s like I was taking a medicine, but I
turned to take another drugs…”
“And now you’re
sitting here, taking that medicine?” tanya saya memotongnya.
"Yes”.
Beruntung sekali ya jadi dia? Dia bisa “berobat” kapan pun
dia mau.
“Yes, now I’m sitting
here in front of you. Just like taking my medicine”.
FUCK! I-AM-NOT-A-MEDICINE! Apa sih yang ada di otaknya? Dia pikir
semua orang yang “kelihatannya” kuat itu nggak punya perasaan? Hello, even
Superman has a right to bleed!
Saya memandangnya lagi. Lebih dalam. Masuk ke dalam jiwa
lewat pintu matanya. I don’t know what is it? Do I still love him? No. So why
am I not angry?
Lama.
Lama.
Lama.
Akhirnya saya sadar, kalau saya kecanduan rasa sakit atas
nama cinta. Apakah kalian tahu kalau dalam hidup ini kita akan selalu
bersinggungan dengan rasa sakit untuk mendapatkan kebahagiaan? Sederhananya,
rasa syukur. Coba kita bandingkan, lebih manis syukur yang mana, yang diperoleh
langsung dari kebahagiaan atau dari senyum sesudah tangis? Buat saya, pilihan kedua
adalah yang paling mengena.
Saya mulai melihat ke sekeliling. Orang-orang yang bahagia
karena telah berkorban atas nama cinta. Para ibu yang berusaha menghadirkan
bayi-bayinya ke dunia. Para ayah yang rela bertahan di bawah tekanan kerjaan. Para
istri yang sedianya tetap tersenyum untuk menunjukkan betapa berbaktinya dia,
betapa inginnya membuat suami mereka merasa dihargai. Para pacar yang rela
melakukan hal tolol di luar logika. Para murid yang memenuhi harapan gurunya
telah berhasil mendidik mereka. Dan semua pribadi yang rela melepas ambisinya
demi mendengar kalimat, “I’m proud of you”
dari orang-orang terdekatnya, padahal seberapa jauh orang-orang itu paham
kebanggaan sebenarnya bagi si pribadi tersebut. Mereka adalah orang-orang kuat,
orang-orang yang mampu mengkompensasikan sakitnya kepada kebahagiaan orang
lain, dengan begitu mereka tidak menyalahkan cinta atas kekecewaannya. Mereka pun
tidak haus penghargaan atas pengorbanannya.
Am I masochist?
Saya merinding ketika pertanyaan itu muncul dengan
sendirinya dalam hati. Apakah benar saya membutuhkan rasa sakit agar mampu bahagia,
bersyukur, dan merasakan cinta?
“Love doesn’t have to
hurt, to feel good..it’s such a revelation”, itu adalah petikan lagu
Attomic Kitten yang berjudul “Love Doesn’t
Have To Hurt”. Feeling. Love is about
feeling. Perasaan. Lalu apa jadinya kalau saya sudah mati rasa? Bukan. Saya
kebingungan dengan perasaan saya hingga saya memainkannya dengan otak. Saya hadirkan
perasaan itu, saya mainkan, saya kuatkan, saya beri ruh. Terus saya rasakan
hingga benar-benar menyentuh ke dasar hati. Jika memang benar menyakitkan, maka
akan saya hadirkan lagi visualisasi yang menyenangkan untuk perlahan
menyurutkan rasa sakit itu, hingga akhirnya saya merasa bahagia. Ya, begitu lah
saya menghadirkan perasaan yang sudah bingung lagi bagaimana saya harus
merasakannya.
Yes, you’re a masochist.
Mungkin benar, saya membutuhkan rasa sakit untuk merasakan
cinta. Tapi satu hal, saya tidak membutuhkan obat dari orang lain untuk
menyembuhkannya. Saya yang menghadirkan rasa sakit, saya yang menciptakan
penawarnya. Kini saya mengerti, pantas saya tidak pernah marah kepadanya KARENA
SAYA MENIKMATI RASA SAKIT ITU.
Is that we called as
nothing to lose? Cinta putih? Cinta yang tak menuntut balas?
Persetan dengan semua term. Saya menikmati ini. It’s a
dangerous game, I know. But you started it, and allow me to push the start
button.
“Don’t choose 'start',
you have ‘option’ button”, ujarnya ringan.
Masih sempat bercanda dia! “Well sorry, the ‘option’ button is broken. Sometime you only have one
choice. Play it!”
medicine!!!!!!!!
ReplyDelete