31HariMenulis
It Has Nothing To Do With Us
Alhamdulillah...gua harus berterima kasih lagi sama Gusti
Rabbi karena masih diberi kesempatan untuk belajar. Akhirnya pelatihan untuk
guru SLB se-Indonesia yang diselenggarakan oleh pemerintah Indonesia dan
bekerja sama dengan ASB selama 3 hari selesai juga. Meski gua di sana cuma
ngedampingin teman-teman tuli dan hanya ikut 2 hari, gua belajar banyak hal. Sekali
lagi thanks a truck!
Selama pelatihan, kalau teman-teman tuli lagi asyik sendiri,
gua ngobrol dengan guru-guru SLB dari berbagai daerah. Salah satu guru SLB yang
tadi datang menghampiri gua adalah guru olahraga SMALB dari Aceh. Malu-malu
gitu bapaknya duduk di sebelah gua, terus bisik-bisik, “mbak, saya mau tanya-tanya dong tentang isyarat boleh?”
DYAARR!
Gua suka nervous sendiri kalau ada yang begitu. Masalahnya,
gua ini masih sangat awam tentang isyarat. Jadinya gua jawab, “mending bapak tanya langsung aja ke yang
tuli. Saya bantu terjemahin deh, kalau saya yang jawab takut salah”.
Si bapak itu entah emang pengen ngobrol dengan gua (PD
sedikit is OK lha ya!) atau gimana, tiba-tiba kelabakan, “wah wah..jangan mbak, saya cuma mau tanya gimana mbak belajar bahasa
isyarat”.
So then, gua ngedongeng lah sejarah “Gita dan Petualangan
Belajar Isyaratnya”. Here, I’m gonna say thanks and feel so blessed dipertemukan
dengan DAC, khususnya Arief. Dari mereka lah gua belajar ini semua, tanpa
memperhatikan apakah gua pakai American Sign Language (ASL), Sibi, Bisindo,
atau apalah itu. Mereka dengan tulus mengajarkan isyarat sama gua untuk
kebutuhan yang sebenarnya. Komunikasi.
Sayang, hari gini masih ada yang risau bukan urusannya. Sibi
dan Bisindo.
Kenapa gua bilang itu bukan urusan gua?
Ini bukan berarti gua nggak peduli. Oh wait, I do care so
much about difability, especially deaf. Tapi untuk permasalahan Sibi dan
Bisindo itu bukan ranah gua. Gua nggak belajar sign language linguistic, dan
for real, pengetahuan gua tentang deaf masiiiihh sangat miskin. Jadi ketika si
bapak bertanya, “mbak kenapa nggak
belajar dari kamus pemerintah itu? Yang tebal itu lho mbak”, gua cuma
nyengir kuda. Gua jawab aja, “pertama
pak, saya malas baca kamusnya. Kalau saya bisa belajar tanpa harus baca kamus
yang njilimet, kenapa harus menyusahkan diri? Kedua, isunya kamus itu bukan
dibuat oleh orang tuli, so ibaratnya untuk apa saya belajar bahasa Spanyol tapi
yang nulis orang Indonesia. Ketiga, saya bisa lebih paham konteksnya ketika
interaksi langsung, jadi dengan praktik saya lebih ingat”.
Si bapak kayak abis gua hipnotis gitu, abisnya dia
ngangguk-ngangguk doang. Mumpung masih under my control, gua lanjutin aja, “maaf pak, daripada kita meributkan hal-hal
yang bukan kapasitas kita, kenapa kita nggak sesuaikan saja metode mengajar
dengan kemampuan mereka? Apakah bapak tega memaksakan murid-murid tuli bapak
untuk memahami materi dengan cara yang tidak mereka kuasai? Sekarang gini deh pak,
apakah bapak nyaman mengikuti pelatihan ini dengan bahasa Jerman padahal bapak
adalah orang Indonesia?”
Si bapak tadi garuk-garuk kepala, padahal kepalanya nyaris
botak. “Iya juga ya, mbak, benar. Kenapa nggak
kepikiran dengan saya?”
Ya mana gua tau pak!
Eh, tenang, itu cuma dalam hati doang. Aslinya gua cuma senyum satu senti ke
kanan-satu centi ke kiri. “Saya sih mending
ngikutin cara mereka komunikasi, Pak. Capek tohkalau kita ngomong tapi orang
yang diajak ngomongnya nggak ngerti?”
Lagi. Si bapak itu ngangguk-ngangguk. Nggak lama dia pamit
pergi, mungkin nyadar kali ya gua mulai ilfeel dengan responnya yang nganggung-ngangguk
apa gak garuk-garuk kepalanya yang nyaris botak? Whatsoev. Gua nggak peduli dia
pergi karena apa, sama halnya gua nggak peduli pemerintah sibuk nyusun
kurikulum untuk SLB. I am tired enough baca kurikulumnya. Bukan karena banyak
tulisan, tapi terkadang nggak disesuaikan dengan muridnya. Heran deh,
jangan-jangan mereka harus dikuliahin Strategic Planning secara massal!
Well here, gua banyak bilang “nggak peduli” bukan berarti
benar-benar doesn’t give a fuck. No! Tapi gua nggak peduli secara advokasi..oh
no, crap! Ayo apa istilah yang tepat?! Err...you-name-it lha ya, yang pasti basic
gua bukan PLB so khawatirnya ketika gua koar-koar tentang kesalahan isyarat
atau kurikulum PLB yang (menurut gua) kurang match, nanti diserang secara
teoritis atau background pendidikan. Oh no! Bukan juga gua di sini cari aman
dari perdebatan. No! Gua cuma mau dengan bangga ngejawab, “saya ini basicnya public relation dan advertising ilmu komunikasi UGM,
pak, bu” kalau ada yang heran bertanya, “adek ini kuliahnya jurusan PLB?”.
0 comments: