31HariMenulis
“Ibu, itu tangannya kenapa?”
Kalau gua boleh memilih, lebih baik gua dibuat nangis
daripada harus ngeliat anak kecil yang kesakitan di depan gua. Let say
kesakitan ini bukan secara fisik, tapi dari perasaannya. Batin mereka. Ada banyak
anak-anak yang gua dapatkan sedang menangis dalam jangka waktu lama. Justru bukan
karena jatuh atau terluka secara fisik, tapi karena mereka bingung. Mereka nggak
tau apa yang dihadapinya sehingga dalam hati bertanya, “apa apa dengan dunia ini?”. Pertanyaan barusan bukan pertanyaan
yang sengaja gua buat. Bukan. Tapi itu adalah kalimat yang mewakili kebingungan
mereka.
Hari ini gua ketemu lagi dengan orangtua baru. Mereka adalah
orangtua dari Aulia. Saat pertama kali gua duduk di samping Aulia, telinga
kirinya memakai hearing aid. Hmm...okay, she is deaf. Then, gua kenalan dengan
ibunya dan sedikit basa-basi. Nggak lama akhirnya Aulia menyadari kehadiran gua
terus dia freak gitu ngeliat gua. Aneh kali ya kok tiba-tiba ada wanita dewasa
segini kecenya (benerin kerudung dulu)? Gua sih stay cool aja terus senyum dan
nanya nama dia.
Sayang, dia nggak bisa jawab. Dia cuma diem, bengong
ngeliatin tampang dan isyarat gua. Memang hari itu dia baru pertama kali
belajar isyarat, akhirnya gua finger spelling nama gua.
“G.I.T.A,”
Dia bingung. Okay, she doesn’t get what you sign, Git!
Gua mengambil kertas bertuliskan alfabet dan mengulang
finger spelling, then alhamdulillah dia paham.
“Gita,” sambut
suaranya parau.
Ya, gua mengangguk. Kembali gua tanya siapa namanya. Dia
bingung. Dia mengambil kertas tadi dan menunjuk huruf per huruf namanya.
“A.U.L.I.A”.
Gua tersenyum. Nggak lama dia ngerengek, nyaris nangis
malah. Awalnya gua nggak peduli, tapi gua paling nggak tahan dengar anak
tantrum. Akhirnya gua melengos penasaran. Mau ngapain sih ini anak?
Gua lihat dia mati-matian ngejelasin maksudnya ke si Ibu, si
Ibu juga mati-matian membalas permintaannya. Tapi-nggak-nyambung! Anaknya minta
apa, Ibunya nanggepinnya apa. Gua lihat si Aulia desperate, jadi gua dekati dia
lalu gua tanya dengan bahasa isyarat. Eh, ngerti tuh..nyambung akhirnya. Ternyata
simpel, dia cuma minta uang seribu buat jajan. Terus tragedi si Aulia nangis
kedua adalah ketika dia nggak berani jajan sendiri. Setengah keringet dingin
dia ngerengek ke ibunya di pintu buat ditemenin, tapi ibunya nggak ngerti. So gua
bangun, gua temenin aja tuh si Aulia ke depan. As I said, gua paling nggak tega
lihat anak kecil yang nangis karena desperate kebingungan daripada karena dia
luka secara fisik.
Gua bukan deaf. Indeed. Tapi gua pernah merasakan sulitnya
menyampaikan sesuatu, terlebih ke orang yang kita sayang, dan itu rasanya sakit
banget. Apalagi cuma masalah begini? So sepele, jadi gua nggak mau Aulia
terlarut dalam kebingungannya sampai keringet dingin begitu.
Well, kenyataannya hal ini nggak cuma terjadi di Aulia. Masih
ingat Dhela? Ya, gadis kecil deaf yang suka nyanyi itu. Barusan gua ngeliat dia
asyik menjahit dan seketika ibunya bilang kalau dia udah lulus SD. YIAY! *tiup
terompet* After that, ibunya bilang kalau dia mau masuk SMPLB. Gua sih
senang-senang aja, tapi iseng gua nanya, “kenapa
nggak dimasukkan ke sekolah umum? Dhela kan pinter, pasti bisa ikut pelajaran
di sekolah umum”.
Meenn, jawaban ibunya bikin gua speechless.
“Nggak apa-apa masuk
SMPLB aja, supaya dia paham kalau di dunia ini ada difable beda-beda. Dia harus
nerima itu dan paham dari sekarang. Dia jadi lebih sabar”.
“Tapi Dhela nggak
pernah masalah masuk SLB?” tanya gua masih kepo.
Ibunya tersenyum. “Nggak.
Awalnya dia bingung masuk SLB dan nangis?”
Dahi gua mengernyit bingung. “Nangis?”
“Iya, dia takut lihat
teman-temannya buta dan nggak punya tangan. Dia nangis dan bilang, ‘ibu, itu
kenapa nggak punya tangan? Terus itu kenapa nggak bisa lihat?’” si Ibu
tersenyum sejenak, “terus saya bilang
aja, ‘nggak apa-apa, nggak usah takut. Itu udah kuasa dari Tuhan. Dhela harus
bersabar dan bersyukur. Sama Dhela pun nggak bisa mendengar itu istimewa dari
Tuhan”.
Wedyaaann, gimana dada gua nggak nyesek dengar begitu? Eh,
bukan dengar, lihat deng..kan ibunya berisyarat sama gua.
So what’s the point here?
Gua nyesek aja gitu kalau sering dapat pertanyaan polos dari
anak-anak, “kenapa ini begini?”, “kenapa
ini begitu?” , dalam tangisannya. I mean, untung kalau saat itu mereka bisa
bertemu dengan orang yang mampu menjelaskan. Kalau nggak? Bisa kejebak dalam
kebingungan dan ketakutan. Nggak usah jauh-jauh deh, saat ini aja masih banyak
kok anak-anak yang ketakutan kalau bertemu dengan anak-anak down syndrome atau
cerebal palsy. Ketakutan itu seringnya gua temukan karena mereka menganggap
aneh. Padahal apa yang aneh? Kita semua sama kok manusia dan kemampuannya aja
yang berbeda.
Karena gua kepo, akhirnya gua menemukan jawaban kenapa
beberapa anak ketakutan ketemu anak berkebutuhan khusus (ABK). Simply, it’s
caused by kebingungan! Mereka nggak ngerti kenapa Tuhan menciptakan manusia
berbeda-beda dengan berbagai keunikannya. Di sini lah, ada beberapa anak yang
frontal bertanya, tapi ada juga yang memendam kebingungnnya sendiri.
Kalau gua harus flash back, gua pernah berada dalam kondisi
Aulia maupun Dhela. Gua nggak bisa disebut seberuntung mereka kalau
dipertemukan orang yang bisa menjelaskan “keanehan” tadi. But that’s not a big
deal anymore, well then dari sana gua sekarang bisa bersyukur kalau setidaknya
bisa menjadi orang yang meng-clear-kan “keanehan” di mata mereka.
0 comments: