31HariMenulis
I’m not Feminism, I Just Speak Up My Values
Suatu hari ada seorang teman yang bilang begini ke gua, “kebaca, Ta, dari blog lo kalau lo adalah
seorang feminis!”. Lantas sejurus kemudian kening gua mengernyit. Siapa dia?
Kok tiba-tiba nerawang gua seorang feminis. Well...rasa-rasanya sih gua nggak
pernah menyuarakan diskriminasi wanita di sini. Alih-alih gua membahas
kesetaraan gender, gua kayaknya lebih sering ngulas tentang difable. Kenapa jatuhnya
gua jadi feminis?! *garuk kepala*
Di hari lain, seorang teman yang berbeda nyemprot gua, “elo tuh kerudungan. Ngomong diatur dikit
kenapa, frontal amat”. Masalahnya sepele kok kenapa akhirnya gua digituin, cuma
gara-gara gua ngomentarin cowok yang err..so..okay, what can I say..emm..dia
nggak cukup capable jadi seorang pemimpin. Gua ngomentarin dari cara
berpikirnya, cara bicara, sampai cara dia bertindak ngambil keputusan. That’s
all. So salah gua kalau gua menyuarakan pendapat?
HEY, WE’RE LIVING IN DEMOCRATIC COUNTRY, MEENN!
But lucky me, hal di atas nggak cuma dirasakan oleh gua
seorang, banyak teman-teman perempuan lain merasakannya. *ciumin-satu-satu*
Bahkan nggak jarang ujungnya dibawa embel-embel kerudung, “elo tuh kerudungan jadi nggak boleh bla bla
bla”. Geez, I’m so sick with that stament! Akhirnya gua dan beberapa teman
senasib jadi mikir, “sebenarnya apa yang
salah dari ke-frontal-an kita yang kerudungan begini?”
Apakah dengan kerudungan kita harus manut semua omongan
lelaki?
Apakah dengan kerudungan kita nggak boleh berpendapat?
Apakah dengan kerudungan kita harus nrimo meski hati
menolak?
Awalnya kita, khususnya gua, sempat berpikir, “okay, mungkin ini kita yang salah. Kita sebagai
perempuan berkerudung harus lebih menata diri”. Kalem dan pendiem lha
istilahnya. Gua sempat seperti itu. Gua membatasi diri untuk nggak begitu
frontal. Gua menata kata-kata yang keluar dari mulut. Gua pun mulai lemah
gemulai dalam bersikap. Semuanya gua lakukan ketika terus-terusan dikritik
sebagai muslimah yang nggak beretika.
Okay!
I tried to deal with those all, but by the end gua harus
jujur pada diri sendiri kalau: itu-bukan-gua. Ketika gua harus menunduk saat
berbicara, atau mengecilkan suara saat berbicara. That is so no me! Saat gua
berterus terang akan hal ini, ada satu orang yang menentang gua habis-habisan
(okay, harus gua akui saat itu mantan gua yang jadi lawan adu bacot). Intinya,
dia bilang kalau gua bukan citra muslimah sesungguhnya.
NJLEB!
Nusuk banget di gua, bro! Lama gua berpikir apakah benar gua
ini nista banget kayaknya?
Akhirnya gua sadari, ketika
gua-menjadi-muslimah-yang-ada-di-otaknya, gua malah menjadi perempuan yang
nggak tau apa-apa. Gua kayak kambing yang dicekokin rumput. Nurut aja tanpa
paham esensi yang diinput ke hidup gua. Gua kayak orang bodoh dan hidup gua
terbatas. Gua jadi nggak bisa mikir kritis, sedihnya juga gua nggak punya
pendirian.
Apakah muslimah seperti itu yang dibutuhkan?
Ah, rasanya terlalu berat kalau gua menggunakan kata “muslimah”
di sini. Ibadah gua aja masih morat-marit kok. Okay, let’s change dengan
perempuan berkerudung, terlepas dari dia hijabers, jilbabers, atau “bers-bers”
yang lain, apakah memang sosok seperti itu yang diinginkan oleh agama gua?
Semakin lama semakin sering gua bertemu dengan
perempuan-perempuan yang kebingungan begini. Kami mencoba untuk refleksi ke
diri masing-masing, dan kini tau kalau kerudung tidak menjadi penjara bagi
kami. Kerudung adalah guide, penjaga. Bukan kah penjaga yang baik itu tidak
mengekang, tetapi mengarahkan?
Yes, ke-frontal-an yang dilakukan bukan serta merta melawan
kodrat atau apa lah you name it. Tapi dengan kain penutup aurat ini adalah gate
keeper supaya kebebasan kita nggak keluar jalur. So apalah artinya penjaga
kalau memenjarakan atau menyesatkan?
Sejak SMP gua berkerudung dan kini paham kalau kerudung
bukan sekedar penutup kepala. Ini menjadi bentuk kepatuhan tertinggi kita
kepada-Nya. Dan kita nggak berhak men-judge kepatuhan seseorang dari panjang
kerudungnya, karena kepatuhan kepada-Nya hanya bisa dinilai oleh-Nya. Itu ada
di dalam hati. Ya jelas lha, kan kita patuh kepada Tuhan, mana bisa orang lain menilai
sesuatu yang tidak kita lakukan kepada mereka?
Ada pun ketika merasa berdosa karena melakukan kesalahan,
itu bukan karena nggak enak sama kerudungnya. Kerudung sih benda mati, mana peduli kita mau
ngapain. Tapi esensi dan prinsip kita berkerudung lah yang harusnya membuat
kita malu ketika menyimpang dari-Nya. Mungkin ini kali ya yang membedakan
banyak perempuan berkerudung. Ada yang kerudungnya panjang, tapi kelakuannya
begitu. Ada yang kerudungnya pendek, tapi kelakuannya begini.
Suatu hari gua pernah bertanya kepada seorang teman yang
menurut gua agamanya cihuy. Dia nggak garis kiri banget, tapi nggak nyeleneh
kayak gua juga hehehe
Pertanyaan gua, “lebih
baik gua nggak bekerudung tapi agamanya bagus, atau berkerudung tapi agamanya
biasa aja?”
Teman gua menjawab, “emang
ada indikator agama bagus itu dari berkerudung?”
“Kan kalau berkerudung
artinya menutup aurat dan menjaga diri”.
“Kalau gua sih, Ta,
mendingan memahami takwa kepada Tuhan dengan baik dan benar, daripada sibuk
berpenampilan dan bertindak supaya dinilai agamanya bagus tapi nggak paham
menjalin cinta dengan-Nya”.
Meeenn, gua rasa statement temen gua barusan lebih ndjeb
daripada gua disindir, “kamu kok muslimah
begitu”.
0 comments: