31HariMenulis
Di Atas Motor
“Siap?” tanyamu.
“Siap”, jawabku mantap.
Ku tegakkan punggung, lalu ku
selusupkan kedua tangan melingkar di perutmu.
Hangat. Itu yang aku rasakan.
Sesekali ku benamkan wajah di
pundakmu. Yang ku temukan bukan harum parufume mahal, hanya ada wangi tubuh
khasmu. Aku tidak bilang wangi, tapi aku rakus bernafas di sana.
Bintang mengerling di langit
hitam. Sedikit membawaku kepada kenangan kita yang menghitung bintang. Di tengah
sawah luas, seusai sujud setalah maghrib itu. Kamu ingat itu? Kita sama tak
peduli awamnya tentang astronomi. Tapi satu yang kita tau, kita bersatu di
bawah langit-Nya. Di sana kita temukan syukur.
Angin malam menyapu pipiku
lembut. Membuaiku tentang kita yang tak pernah berkata untuk bisa merasa. Lalu sedetik
kemudian kamu mengecup jemariku. Kamu rekatkan di dada. Mungkin ada harapmu
agar aku mengerti yang kamu rasakan. Jangan khawatir, aku bisa merasakan
getarnya lewat tulang punggungmu. Hanya saja aku bingung, apakah perasaanku pun
sampai lewat tatapan mataku padamu di kaca spion?
0 comments: