Free Multilag Ticket
Gue nggak pernah tau apa yang Tuhan rencanakan. Rasanya gue
menjalani hidup dalam ketidaksadaran. Bagaimana tidak, suatu waktu gue bisa
mendapatkan diri bahwa posisi gue kian mendekat terhadap apa yang gue impikan.
Lucunya, gue sering mempertanyakan di akhir perjalanan, “inikah destinasi yang gue inginkan?”
Orang boleh berkata gue kurang bersyukur atas segala yang gue
miliki. Tapi buat gue, rasa berterima kasih sebenarnya adalah ketika gue
benar-benar mengoptimalkan apa yang Tuhan berikan. Untuk bisa optimal, gue
harus tau mengapa gue mendapatkan ini-itu. Gue enggan berterima kasih tanpa
paham asal muasalnya, karena gue percaya everything has a price. Ini bukan
masalah perhitungan kepada Tuhan Yang Maha Kaya. Gue hanya ingin menjadi hamba
yang tidak sekedar melafalkan “Alhamdulillah”.
Maka darinya gue bertafakur.
Merenung bukanlah aktifitas yang harus lo lakukan dalam
keadaan sendiri dan di tempat sepi. Entahlah, bagi gue perenungan bisa terjadi
di tempat ramai, bahkan di tengah konser sekali pun. Esensi merenung (menurut
gue sih) tidak tercermin pada posisi raga secara fisik, melainkan sebuah
komunikasi intrapersonal. Sebuah proses lo mengobrol dengan diri lo sendiri.
Mendiskusikan apa yang telah terjadi dan telah diraih untuk menyusun strategi
kehidupan selanjutnya.
Hey, why life gets so
serious?
Yes, of course! It needs to treat seriously. Hidup gue cuma
sekali. Gue tidak pernah tau apakah Tuhan merencakan kesempatan kedua. Untung
kalau iya, lalu bagaimana kalau tidak? Apakah gue harus menyia-nyiakan golden
ticket ini?
Isn’t it too far to
think life is a golden ticket?
Nope, fellas! It’s a real golden ticket. Gue adalah
kontestan yang lolos dari ribuan sperma yang masuk ke dalam ovarium nyokap.
Bagaimana jadinya kalau benih sperma lain yang berubah menjadi zigot?
Sudah semestinya gue sangat beruntung menggenggam tiket ini.
Satu free multilag itinerary sehingga gue bisa singgah di beberapa tempat
sebelum sampai di destinasi akhir. Karena golden ticket ini free, maka O/D
(origin and destination) ditentukan oleh si Pemilik Tiket, siapa lagi kalau
bukan Tuhan. Kewenangan gue hanyalah menentukan rute perjalanan dan mengendarai
maskapai. Tapi kekuasaan-Nya tidak berhenti dalam bermain O/D, Dia pun
mengarahkan ke mana pesawat gue harus membelokkan sayapnya. Ya, ternyata Dia
tidak hanya pemilik maskapai, tetapi juga ATC (Air Traffic Control), bagian yang memandu lalu lintas udara. Dia
adalah Pemandu lalu lintas maskapai-maskapai-Nya.
Kemudian baru gue sadari kalau tugas gue hanyalah seorang
pilot merangkap sebagai scheduler,
selebihnya Dia. Dia lah yang memasok fuel
sehingga gue tetap bertenaga untuk terbang. Dia lah yang mendatangkan penumpang
sehingga gue tetap mendapatkan teman, meski ada “turun di tengah jalan” dan
sebagian kini melanjutkan perjalanan bersama. Dia, Dia semuanya.
This is so fantastic journey! Really!
Sayangnya, gue tidak pernah tau destinasi sebenarnya yang gue
tuju. Surgakah atau neraka? Hanya ada dua pilihan, karena adakah dalam kitab
seorang hamba berhenti di antara keduanya?
Suatu malam gue bercerita kepada seorang teman tentang
perjalanan hebat ini. Betapa banyak tempat yang gue singgahi. Berapa banyak
pemandangan yang gue nikmati. Berapa beragam orang yang gue temui. Hingga
akhirnya semua pengalaman itu membentuk seberapa handal gue mengudara.
Komentarnya adalah begini:
“I see that you’re a
pathetic pilot. You seem like flying around, but you don’t keep your soul in
flight. You already put your soul in each point. Well, my girl, it’s a shame.
In every journey you are only allowed to remember the moment, not making a mark
in every airport. You know why? Cause there’s still another plane to be in
runway and just take it, you never have a runway. The point is leave the
airport and continue your journey”.
Gue nggak pernah menyadari hal itu. Am I marking the path?
Akhirnya gue sadar arti dari sebuah perjalanan. Semuanya tak
lebih dari finding and losing. Seberapa banyak hal-hal baru yang lo temuin,
kemudian ketika pesawat lo sudah block off, bersiap lah untuk losing the path.
Lo harus meninggalkan airport itu dan meneruskan perjalanan. Beda cerita kalau
lo enggan beranjak, maka selesai lah perjalanan.
In the journey, all I have is an experience. Kalau sekarang gue
memiliki keluarga yang luar biasa, maka akhirnya akan menjadi experience.
Keluarga gue adalah milik-Nya. Ketika mereka harus turun dari pesawat, gue
tidak lagi memiliki mereka. Gue hanya bisa berujar “pernah terbang bersama
mereka”.
Kalau sekarang gue memiliki partner menyenangkan, seorang
sahabat sekaligus pecinta yang sabar, maka di destinasi nanti gue hanya bisa
bercerita bahwa gue pernah terbang dengan co-pilot yang detail, sabar,
integrity, dan penyayang.
Kalau sekarang gue memiliki teman-teman yang banyak, maka
saat topi pilot ini harus gue lepas, gue hanya bisa tersenyum betapa bangganya
pernah terbang bersama mereka.
I have nothing but experience that comes to memory. Yes,
God, it is all yours. And I just feel blessed when you issued this golden
ticket for me. Let me continue my flight and do my job as a captain. Keep
watching our radar, God, cause there is nothing to do with us except striving
our belief (being istiqamah).
“Alhamdulillahirrabil
‘alamin”.
Gitaaa..dibikiin bukuu giit :) hehe
ReplyDelete