April in The End of My April

8:13 AM Tameila 0 Comments

Niat saya itu pagi ini pengen banget semangat because there are so many things to do. Dan yang pasti (mungkin) bakalan seharian di perpustakaan. Ngapain lagi kalau bukan garap tugas periklanan. Tapi Tuhan sepertinya masih tahu kegalauan hati saya. Mungkin pagi ini Tuhan ingin saya jujur pada diri saya sendiri and I know it feels so suck. Nggak ada hubungannya, tapi mungkin ini juga yang menyebabkan playlist saya tiba – tiba memutar Jason Mraz ft. Colbie Caillat – Lucky.

Suatu hari saya pernah bertanya pada seorang teman. Pertanyaan saya simple, sesimple jawabannya. Saya bertanya, “eh mungkin nggak sih kalau cewek – cowok sahabatan nggak akan ada perasaan suka sama sekali ?”. jawabnya, “mungkin aja kalau dibatasi”.

Batas ?

Well…suddenly I’m wondering that…batasan yang seperti apa ? Dan selebar apa batasan itu harus dihamaparkan untuk memisahkan the real best friend dengan the one whom I love so bad ?

And when I asked about that, temen saya cuma jawab, “itu lo sendiri yang tahu. Kan lo yang sahabatan dengan dia”.

Nah, wong sayanya aja nggak tau batasan seperti apa, jadi apa salah saya kalau sekarang perasaan saya jadi ambigu gini ?

To be honest…perasaan ini sudah mengetuk sejak liburan smester kemarin. Yaahh gimana nggak terusik, orang tidur nggak akan bangun kalau nggak ada keributan, bukan ? Semakin dirusuhin ya the feeling comes out. Karena saya percaya dengan asumsi, semakin sering sebuah perasaan diusik, maka akan menjadi sugesti yang tertanam dalam diri seseorang. Sugestinya apa ? Yaahh kita suka sama orang itu.

Better know nothing mungkin rasanya kalau udah begini. Lebih baik tidak tahu apa – apa dan tidak merasa apa – apa supaya semuanya berjalan tetap lancar. Lihatlah anak – anak yang begitu polos dan mudah mengenyahkan perasaan kecewa, sakit, pedih, dan suka. They see love is always fair so when they get hurt, they are never afraid to put love again. Bukan hanya anak – anak, tapi mereka juga yang berpendidikan rendah. They never ask too much to love karena mereka memang tidak pernah berpikir banyak. Mau suka dengan yang lebih tua kek, yang lebih muda kek, sahabat kek, musuh kek ya udah. Kalau saya perhatikan, berbeda dengan mereka yang berpendidikan atau berada di kelas sosial atas. Yang berpendidikan biasanya gengsi kalau dengan yang “kurang” dan tingkat selektifnya biasanya lebih tinggi. Harus mapan (karena rasionalitas mereka lebih tinggi ketimbang yang kurang berpendidikan. Mereka nggak mengedepankan cinta, tapi lebih kepada “mau makan apa gue dan anak gue nanti”?) dan belum lagi poin – poin lain yang ada di check list.

Apa karena adanya pendidikan membuat cinta menjadi rumit ? Membuat seseorang terlalu banyak menimbang, memikirkan, dan mengevaluasi ? So it never be just the way it is. Atau karena pengalaman lah yang membuat orang semakin lama untuk sesuatu ?

Entahlah. Mungkin salah satunya benar atau keduanya bisa. Atau bahkan tidak ada yang tepat. Yang pasti, menonton film “Definitely, Maybe” membuat saya harus jujur pada diri sendiri. Dan sialnya ini terasa sesak ketika saya enggan untuk menulisnya. I thought I’ll feel much better when I keep it but that was wrong. I can’t handle it dan saya harus jujur pada diri untuk mendeteksi apakah saya adalah April (starring by Isla Fisher) atau bukan. Dan saya benci pada akhirnya mengapa saya tidak bisa menjadi Maya (starring by Abigail Breslin), seorang anak yang cerdas namun begitu jujur melihat cinta. Okay, agaknya sedikit berlebihan kalau melibatkan kata “cinta”, jadi saya ganti dengan “perasaan”.

Maya yang mendadak bertanya siapa ibunya dan apakah dia hasil dari sebuah “kecelakaan” membuat ayahnya, Will (starring by Ryan Reynolds), harus menarik mundur waktu ke masa – masa dirinya berambisi menjadi presiden hingga bertemu dengan April. Saat itu bukan hanya April yang dikencaninya, bahkan mereka tidak pernah berkencan karena sesungguhnya Will dan April hanya bersahabat. Barulah April merasa kehilangan ketika tahu Will hendak melamar Summer. Knowing her best friend gonna marry Summer (starring by Rachel Weisz), April pergi dari kehidupan Will. Dia tenggelam di kerjaan yang dari dulu diimpikannya, which is di sebuah bidang percetakan buku.

Years go by ternyata Will nikahnya malah sama Emily (starring by Elizabeth Banks) dan Tuhan menghadiahi Maya. Sayangnya mereka bercerai. Awalnya saya memandang sebuah perceraian adalah langkah final yang sebenarnya tidak bisa diterima, bahkan kalau bisa dihapus dari kamus kehidupan. Bagaimana tidak, dua manusia telah mengingkari janjinya di hadapan Tuhan. Dan dengan mudahnya ikrar itu patah hanya dengan selembar surat “gugat cerai” dan serangkaian sidang di pengadilan agama? Tetapi menonton film ini membuat saya sadar mungkin ini pula cara Tuhan untuk memberi tahu hamba – Nya siapa yang benar – benar ia sayangi. Bukan kah sekuat apa pun kita bertahan pada sesuatu, tetapi kalau it doesn’t belong to us akhirnya akan hilang juga ? Tuhan selalu memberikan apa yang kita butuhkan, tidak yang kita inginkan, bukan ? Ada pun kalau kita mendapatkan apa yang kita inginkan, mungkin keinginan kita itu sesuai dengan list kebutuhan kita yang ada di tangan Tuhan. Makannya ada kata “kehilangan” untuk sebuah akhir dari kepemilikan yang sebenarnya tidak sesuai kita miliki dalam hidup ini. Dan “kehilangan” itu cocok jika disandingkan dengan kata “mencicipi” atau “sementara”.

Si cantik Maya ketika menebak siapakah ibunya sebenarnya

Maya lah yang akhirnya menyadarkan Will kalau April adalah Mrs. Right – nya. There’s no one yang membuatnya nyaman selain April. Then kalau udah nyaman, kenapa nggak dari dulu aja dinikahi ? Di sini lah jebakannya cewek – cowok sahabatan. Masing – masing selalu berpikir kalau sahabatnya pasti nggak bakalan suka sama dia. Salah ? Nggak kok. Tapi perasaan itu akan menjadi ambigu ketika batasan tadi nggak jelas bagaimana.

April when she knew that Will gonna propose Summer
Yeah…I just think lebih baik kita nggak tahu apa – apa, nggak nuntut apa – apa, dan nggak berharap apa – apa supaya sebuah perasaan tidak menjadi sebegini rempongnya. Mungkin ini kali ya yang dinamakan ikhlas ? Not ask too much. Begitu adanya ya udah. Sama halnya ketika Maya yang berkata, “Dad, I can't believe you smoke and drink and was such a slut, but I still love you". Begitulah kepolosan Maya yang mencintai ayahnya apa adanya. Dan juga yang tidak pernah menyesali perceraian kedua orangtuanya. Malah Maya berusaha untuk membahagiakan Will dengan mempertemukannya dengan April. Maya ikhlas dan rela asalkan ayahnya bahagia meski bukan dengan ibunya. Dan itulah yang memang dikatakannya di atas jembatan Brooklyn ketika mereka hendak ke apartemen April.

Why can’t adult be as plain as kid to see love is always fair ? To feel there’s nothing wrong when we love someone. To know that we just love them and let it be. Nggak minta banyak. Nggak berpikir banyak. Nggak berharap banyak. Tuhan pun mengajarkan kita seperti itu, bukan ? Untuk ikhlas terhadap apapun dan biarlah Dia yang menentukan hadiahnya untuk kita. Ajaran Budha pun sama ketika kita harus melepaskan segala sesuatu yang berlebihan agar tidak pernah merasa berat. Memang benar kepemilikan yang berlebihan terkadang tidak dapat membuat kita bergerak bebas dan leluasa. Toh kalau pun pada akhirnya sesuatu itu pantas untuk kita miliki, rezeki nggak akan pergi ke mana. Sayangnya semakin hari manusia semakin kritis dan berasumsi, “kalau nggak dicari ya nggak akan ke kita?”. Salahnya adalah “pencarian” itu terkadang terkesan ngoyo dan malah membuat rezeki itu hilang.

Apakah pasangan hidup adalah rezeki ? Bagi saya ya. Rezeki adalah semua yang datang dari Tuhan dan memberikan kebahagiaan bagi siapa saja yang menerimanya dengan ikhlas dan mensyukurinya. Masalahnya, bagaimana caranya supaya saya bisa bahagia dengan perasaan ambigu ini ? Berkaca lagi pada Maya yang merelakan ayahnya bahagia dengan April, bukan dengan ibunya, because she really knows that her father could be so happy when he’s being closed with his best friend. Dari sini juga lah saya paham kalau perceraian, perpisahan, kehilangan, sakit hati, dan mencicipi tak selamanya buruk jika semua pihak ikhlas dan paham hidup ini hanya serangkaian proses untuk mencari kebahagiaan hakiki.

NB : jadi teringat sindiran teman saya, "ta, kayaknya lo harus mengevaluasi lagi keinginan - keinginan lo. Mungkin udah over load makannya Tuhan mem - pending itu semua. Coba sortir ulang dan mana yang benar - benar dipengenin". (and now I feel like Doraemon, "aku ingin begini, aku ingin begitu, ingin ini - itu banyak sekaliiiii !")

You Might Also Like

0 comments: